Oleh : Hj.Ade Muslimat, MM., PhD (
(Dosen FEB Universitas Serang Raya dan Pengurus ICMI Orwil Banten).
* Sekilas Tentang Kesultanan Banten
Pada awalnya kawasan Banten dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari kerajaan sunda. Kedatangan pasukan kerajaan Demak dibawah pimpinan Maulana Hasanudin (putra sunan Gunung Jati) ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam.
Maulana Hasanudin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri. Selama hampir 3 abad kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa.
Kesultanan Banten merupakan kerajaan Banten maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya monopoli atas perdagangan di Lampung menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara.
Kesultanan Banten berkembang pesat menjadi salah satu niaga yang penting pada masa itu, perdagangan laut berkembang ke seluruh nusantara, Banten menjadi kawasan multi etnis di bantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa. Banten berdagang dengan Rusia, India, Siam, Vietnam, Filipina, China dan Jepang. Banten sukses sebagai pengekspor lada terbesar kedua di Asia tenggara setelah Aceh.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah kepimpinan beliau, Banten memiliki armada yang mengesankan dibangun atas contoh Eropa, juga telah sanggup mengupah orang Eropa bekerja pada kesultanan Banten.
Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau kerajaan Tanjung Pura (sekarang Kalimantan Barat) dan menaklukannya tahun 1661.
Tidak dapat dipungkiri sampai tahun 1678 Banten telah menjadi kota metropolitan dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa itu.
Betapa tidak…. Penelitian yang dilakukan dilokasi Banten Girang (Cibanten) ditahun 1988 program ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukanya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad 11-12 Masehi.
Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah di kelilingi oleh benteng pertahanan dan di dukung oleh berbagai pengrajin, mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik-manik kaca.
Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran dan hubungan internasional sudah terjalin dengan Cina, semenanjung Indochina dan beberapa kawasan di India. Bahkan sekarang pun masih tersimpan rapih di museum banten, mesin pencetak uang Oridab (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten) yang digunakan selama masa pergerakan kemerdekaan.
Dahulu pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Cibanten dan Cikarangantu, wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang”. Dikawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Mesjid Agung Banten dengan menara berbentuk Mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara mesjid Agung Banten dan Cibanten dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat Paseban yang digunakan oleh sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya.
Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama Mandala.
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji sehingga perang saudara tidak dapat dihindari.
Pada tahun 1808 terjadi penyerangan atas Banten dan penghancuran istana Surosowan atas perintah Daendels karena Sultan Banten menolak perintah Daendels untuk memindahkan ibukotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan di bangun di Ujungkulon.
Akhirnya ,Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Sekitar tahun 1832 Belanda membuang 13 orang jawara Banten ke tanah Minahasa (Sulawesi Utara) diantaranya Tubagus Buang dan Abu Salam. Berdasarkan silsilah keluarga (ada dicatatan buku) saya (penulis) merupakan keturunan ke-6 dari Haji Buang. Menurut cerita turun temurun, makam/kuburan mereka tidak ada jejaknya karena permintaan dari Tubagus Buang Cs.
Untuk tidak meninggalkan jejak agar nanti anak, cucu, cicit dan keturunannya tidak mengeramatkan kuburan mereka. Dan beliaupun berpesan agar gelar Tubagusnya tidak dipakai kepada keturunannya karena berat menyandang gelar tersebut dan dikhawatirkan tidak dapat menjaga nama besar itu. (Wallahua’lam).
Bicara sejarah banten melawan penjajah (Belanda) saya teringat cerita nenek dan kakek pada saat agresi Belanda II, pernah turut membantu dan turut menyembunyikan para pejuang kemerdekaan (tokoh-tokoh Al-Khairiyah) yang saat itu dikejar-kejar Belanda. Beliau (nenek almh Hj. Setimah Muchsin) menyembunyikanya dirumah, para tokoh itu antara lain, KH. A. Fatah Hasan (anggota KNIP pusat, anggota PPPKI, Pahlawan Nasional), KH. M. Syadeli Hasan (anggota Konstituante Banten) dan KH. Jala Ruha (tokoh masyarakat).
Selama berada dirumahnya yang belum memiliki sumur, beliau tiap hari mengambil air (menimba) dari sumur luar milik tetangga untuk mandi dan wudhu para pejuang tersebut. Setelah satu minggu kemudian pada hari Jumat (ba’da shubuh) barulah ketiga pejuang tersebut pindah menuju Gunung Batur, dari Gunung Batur itulah KH. A. Fatah Hasan tertangkap Belanda sampai kini tidak kembali/hilang dan tidak diketahui dimana kuburnya.
Para pembaca, ini sekedar selingan kisah, karena bagaimanapun juga cerita ini merupakan bagian dari sejarah perjuangan banten melawan Belanda. Sebagai keturunannya saya bangga mempunyai nenek yang berjiwa Heroik dan Patriotik.
Menurut silsilah keluarga (ada dibuku) kakek saya adalah keturunan dari pasangan H. Muhammad Anwar dengan Saribanon yang notabene adalah keturunan H. Buang dan Masrangi (buyut), kakak dari Ki Masganjar (tinggal ditanah Arab Saudi). Ini cerita yang turun temurun sampai ke cicit-cicitnya. (Wallahualam).
Bicara sejarah memang tidak pernah ada yang utuh, untuk itu sebagai penulis saya mohon maaf bila terjadi kekeliruan. Pro dan kontra sudah pasti ada, tapi jika kita terus bertikai memperdebatkan, meributkan masalah keturunan, tidak akan ada habisnya dan cita-cita rekonstruksi Kesultanan Banten tidak akan tercapai serta terwujud. Lebih baik kita bersama-sama melanjutkan perjuangan nenek moyang kita, buyut-buyut kita yang sudah bersusah payah membangun Banten ini. Keturunan atau bukan, tidaklah penting. Kita semua yang tinggal di tanah Banten ini sudah seharusnya turut mendukung rekonstruksi Kesultanan Banten untuk menghidupkan kembali obor kehidupan yang pernah mati.
Kembali ke sejarah kesultanan banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Belanda, tahun 1817 banten dijadikan Keresidenan dan sejak tahun 1926 wilayah Banten menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Sebetulnya dari tahun 1953 keinginan untuk membentuk provinsi sendiri sudah muncul, banyak tokoh masyarakat sebagai pelopornya antara lain TB. Kaking, Rachmatullah Sidik dan lain-lain. Walaupun kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan Jawa Barat, perjuangan tetap dilakukan.
Akhirnya pada bulan Juli 1999 dideklarasikan Komite Pembentukan Provinsi Banten (KPPB) yang diketuai oleh Drs. H. Uwes Qorny dan Sub Komite Pembentukan Provinsi Banten (SKPPB) yang diketuai oleh Dr. H. Aceng Ishaq. Setelah itu diikuti pembentukan SKPPB di Serang, Lebak, Cilegon dan Tangerang. (termasuk ayah penulis H.Mufrodi Muchsin). Dan puncaknya adalah tanggal 4 Oktober 2000 bertempat di gedung MPR/DPR RI. Ribuan masyarakat banten yang sengaja datang ke Jakarta ingin menyaksikan secara langsung detik-detik bersejarah dimana RUU Provinsi Banten akan disahkan melalui sidang DPR-RI menjadi UU, yaitu Undang-undang No. 23 tahun 2000 ditetapkanlah kawasan Banten sebagai Provinsi tersendiri (lepas dari Jawa Barat).
Kini setelah Banten menjadi Provinsi kita masih punya PR besar yaitu menghidupkan kembali Kesultanan Banten. Perlu diketahui bahwa Kesultanan Banten tidak pernah “membubarkan dirinya”, tetapi Belanda yang secara sistematis menghancurkanya sejak tahun 1808. Upaya Belanda tersebut jelas-jelas untuk menghapus Kesultanan Banten dari memori masyarakat Banten itu sendiri. Para keturunannya Sultan-sultan Banten dan para Jawaranya banyak yang dibuang ke pulau-pulau lain serta melarang anak keturunnanya kembali ke Banten.
*Haruskah sejarah rekonstruksi Kesultanan Banten ? sepertinya harus….!! Mengapa ? saya mencoba mengutip sekilas wawancara Banten TV (Ibnu Adam Avicienna) dengan Direktur Lab. Bantenologi, Mufti Ali Ph.D (26/3/09) di SKI Cilegon. Ada 3 manfaat mengapa kesultanan perlu dihidupkan kembali. Pertama, kita memiliki rujukan cultural kuat dalam proses pencarian jati diri Kebantenan.
Rujukan kultural itu penting karena akan memberikan spirit dan semangat yang otentik dalam setiap perencanaan pembangunan Banten. Perlu diingat bahwa Banten, ketika masih sebuah Kesultanan Banten, merupakan sebuah kerajaan yang disegani dan diperhitungkan. Kedua, rekonstruksi Kesultanan Banten dapat bermanfaat secara pariwisata kultural. Situs-situs budaya yang selama ini tidak terawat dan terkesan diabaikan akan mendapatkan perhatian. Ketiga, manfaat yang lain tentu saja kearifan lokal (lokal wisdom) yang dapat dirujuk dan ditransformasikan ke dalam nilai-nilai kemodernan. Spirit jawara misalnya, harus dipahami seperti spirit samurai, yang bertransformasi dari kekuatan fisik menjadi semangat patriotik untuk membangun bangsa dan Negara. Bahwa Banten dahulu merupakan kesultanan yang disegani dan berpengaruh adalah fakta sejarah ril.
* Bagaimana langkah-langkah rekonstruksi tersebut?
Yang pertama-tama perlu dilakukan tentu saja adalah mengadakan musyawarah dengan mengundang keluarga keturunan Sultan Muhammad Syafiuddin, Sultan Banten terakhir yang dibuang ke Surabaya tahun 1832 dan keturunan lainnya, mengundang pemerintah dan tokoh masyarakat.
Musyawarah tersebut merupakan musyawarah kultural untuk mendiskusikan mengenai pentingnya menghidupakan kembali Kesultanan Banten. Langkah –langkah berikutnya akan ditetapkan barangkali melalui hasil kesepakatan yang diambil setelah musyawarah tersebut dan mengenai hal ini tentu saja saya tidak memiliki otoritas untuk menyebutkan langkah-langkah tersebut.
Rekonstruksi yang dimaksud disini tentu saja bukan rekonstruksi fisik, karena untuk itu berarti harus membangun kembali istana Surosowan dan Kaibon, sebuah langkah yang tentu saja melanggar undang-undang tentang cagar budaya. Disamping alasan tersebut diatas rekonstruksi fisik, merupakan sebuah upaya yang membutuhkan biaya tidak sedikit, yang tentu saja akhirnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin, setidaknya dalam waktu dekat, dilaksanakan.
Rekonstruksi yang dimaksud disini adalah rekonstruksi kultural, membangun kembali semangat kultural dan kesadaran sejarah bahwa Banten dahulu merupakan sebuah Kesultanan, sebuah Negara kota yang mandiri dan memiliki entitas kebudayaan mandiri yang diakui tidak hanya di nusantara tetapi juga diseluruh kerajaan/kesultanan yang ada di Asia dan Eropa. Sebuah etnis yang memiliki kultur, bahasa dan kecenderungan religius yang khas.
* Apakah nanti ini berarti Banten memiliki dualisme kepemimpinan : Gubernur dan Sultan Banten ? Ditekankan sekali lagi, ini adalah rekonstruksi kultural dan bukan fisik. Keduanya memiliki wilayah otoritatif masing-masing. Gubernur merupakan kepala pemerintahan dengan birokrasi pemerintahan. Wilayah kekuasaannya adalah teknis administrasi yang memberikan pelayanan sebagai pejabat publik kepada masyarakat.
Sedangkan Sultan Banten merupakan ikon kultural, ia dirujuk dan dihormati oleh masyarakat Banten karena Kesultanannya. Dua otoritas tersebut berdampingan, bersinergi berjalan bersama membangun Banten dengan modal politik dan kultural yang mereka miliki. Gubernur pilihan rakyat Banten dan Sultan adalah rujukan kultural mereka. Pembangunan akan berjalan otentik bila berlandaskan pembangunan kultural.
Diberbagai Negara di Malaysia, terdapat banyak sekali Kesultanan/kerajaan termasuk di Negara kita Provinsi Jogjakarta, begitu juga di Inggris, Belanda, Brussel tetapi apakah keberadaan kerajaan/kesultanan tersebut menghambat kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi nagara-negara tersebut? kan tidak…. Yang menghambat kemajuan suatu bangsa bukan keberadaan lembaga yang menjadi rujukan kultural seperti Kesultanan, tetapi perilaku pejabat yang menyimpang, etos kerja yang rendah di masyarakat dan rendahnya partisipasi pendidikan akibat komersialisasi pendidikan.
Sebagai penutup kita berharap sejarah rekonstruksi Kesultanan Banten cepat terwujud dan tidak ada lagi istilah “mati obor”. Bangkitlah generasi muda Banten, sayangilah sejarahmu, budayamu dan jiwa kepahlawanan pendahulumu. Marilah kita bersatu agar cita-cita mulia ini tercapai. Amin.*