Pertemuan ini merupakan koordinasi terkait surat rekomendasi KPK pada 3 Desember 2020 tentang penyampaian Kajian Pengelolaan Bantuan Sosial.
Selain Mensos, Tri Rismaharini, bertindak sebagai tuan rumah adalah tiga pimpinan KPK yaitu, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango dan Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan dan jajaran di Kedeputian Pencegahan.
Pahala mengusulkan bahwa mulai saat ini pendataan didasarkan pada data yang ada di DTKS dengan mengacu data dari Dukcapil.
“Diganti saja dengan data dari Dukcapil (Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri). Karena punya Kartu Keluarga, tapi yang masuk ke DTKS hanya 1 orang, yaitu dia sendiri tapi anak istrinya tidak masuk.
“Jadi ada yang dihilangkan karena tidak ada NIK, tapi ada yang masuk karena tercatat di Dukcapil. Namun hanya sendirian saja, jadi kami sepakat mempercepat pemadanan,” ungkap Pahala.
Lebih lanjut, pendekatan ini digunakan karena pertimbangan Ditjen Dukcapil Kemendagri sangat kooperatif dan menawarkan pemadanan data secara daring.
Pembaharuan secara otomatis bisa dilakukan jika terjadi perubahan data seperti kelahiran, kematian, menikah, cerai, keluar daerah atau masuk daerah.
“Selain 16 juta data tidak ada NIK, ada juga 1,06 juta NIK ganda dan kami lihat juga 234 ribu orang sudah meninggal masih ada di DTKS. Itu hasil pemadanan Dukcapil berdasar kajian KPK,” iimbuhnya.
Pahala juga menyarankan agar DTKS bisa dilakukan secara online. Sehingga pemutakhiran data bisa secara real time, tidak perlu menunggu hitungan bulan.
“Jadi seharusnya 17 juta ini dipindahkan ke DTKS Kemensos, maka DTKS rasanya akan lebih baik kualitasnya. Kami sepakat mendorong DTKS ‘online’ sehingga pendataan tidak harus per bulan tapi langsung ‘real time’,” tambah Pahala.
KPK menekankan 3 poin utama ini dalam pemadanan DTKS antara lain, Pertama, orang itu memiliki NIK. Sehingga dapat dipastikan orang tersebut berada di Indonesia.
Kedua, orang kaya di dalam DTKS bisa keluar. Terakhir, orang miskin yang belum masuk DTKS bisa masuk.
“Pemadanan data ini hanya mungkin kalau online di Dukcapil, jadi 97 juta data DTKS itu masih banyak PR yang diperbaiki”, kilahnya.
Apalagi 97 juta data ini menjadi basis untuk penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan dan ketahuan 600 ribu itu ada anggota TNI Polri PNS, jadi PR-nya masih banyak,” ungkap Pahala.
KPK juga mengkritisi 3 program besar yang saat ini sedang bergulir untuk menanggulangi COVID-19, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) ke BPJS kesehatan tidak menggunakan DTKS sebagai acuan.
“Misalnya 884 ribu penerima PKH justru tidak ada di DTKS, 1 juta keluarga penerima BPNT tidak ada di DTKS, 26,3 jt Penerima Bantuan luran Jaminan Kesehatan tidak berasal dari DTKS dan 10,3 juta jiwa yang terdaftar pada DTKS belum terdaftar BPJS Kesehatan,” tuturnya.
Berdasarkan DTKS yang terdaftar terkini, jumlah peserta Pekerja Penerima Upah Penyelenggara Negara (PPU PN) sebesar 600 ribu jiwa.
“Tiga unit besar ini datanya disinkronkan dong, kalau DTKS jadi rujukan artinya 97 juta orang atau berapa pun angka warga miskin nanti akan menentukan berbagai bansosnya,” tambah Pahala.
KPK mengapresiasi kinerja Kemensos dalam pemutakhiran data selama ini, tinggal berkoordinasi dengan daerah-daerah untuk validitas datanya.
“Jadi, Kemensos sudah lebih baik datanya, hanya harus dikembalikan ke daerah benar tidak itu, Bu Menteri sudah membuka interaksi dengan daerah,” ujarnya.
Pendekatan ini, menurut Pahala, lebih baik ketimbang pendekatan sentralisasi dalam perbaikan data senilai Rp1,45 triliun yang awalnya akan dilakukan Kemensos.
“Kami sepakat sentralisasi data senilai Rp1,45 triliun tidak akan dilakukan karena ada universitas, dinas sosial dan bahkan Dukcapil juga ada di daerah,” pungkas Pahala. (Red).