Oleh: Letezia Tobing, SH, M.Kn.
Terkait dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR), tidak hanya mengenai kegiatan yang dilakukan perusahaan. Dimana perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, tetapi juga terkait kewajiban perusahaan dalam melestarikan lingkungan.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) serta Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012).
Mengenai TJSL, diatur dalam Pasal 74 UUPT dan penjelasannya. Pengaturan ini berlaku untuk perseroan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT, Perseroan, (Perseroan Terbatas) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR) adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal berikut ini :
a. TJSL ini wajib untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
b. TJSL ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
c. Mengenai sanksi, dikatakan bahwa Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL (CSR), akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Dalam Pasal 4 PP 47/2012, dikatakan bahwa TJSL (CSR) dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Rencana kerja tahunan perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan TJSL/CSR.
Pelaksanaan TJSL/CSR tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 PP 47/2012).
2. Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU 25/2007).
Dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL/CSR. Yang dimaksud dengan TJSL/CSR menurut Penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Sedangkan yang dimaksud dengan Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing (Pasal 1 angka 4 UU 25/2007).
Selain itu, dalam Pasal 16 UU 25/2007 juga diatur bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ini juga merupakan bagian dari TJSL/CSR.
Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan TJSL/CSR, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007, penanam modal dapat dikenai sanksi administratif berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Pembatasan kegiatan usaha;
c. Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d. Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Selain dikenai sanksi administratif, penanam modal juga dapat dikenai sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 34 ayat (3) UU 25/2007).
3. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).
Berdasarkan Pasal 68 UU 32/2009, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban :
a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
4. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (Permen BUMN 5/2007).
Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan Terbuka (Persero Terbuka).
Berdasarkan Pasal 2 Permen BUMN 5/2007, Persero dan Perum wajib melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Sedangkan Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan dengan berpedoman pada Permen BUMN 5/2007 yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana BUMN (Pasal 1 angka 6 Permen BUMN 5/2007). Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana BUMN (Pasal 1 angka 7 Permen BUMN 5/2007).
5. Undang-Undang No.22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001).
Kegiatan usaha hulu yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana wajib memuat ketentuan-ketentuan pokok yang salah satunya adalah ketentuan mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat (Pasal 11 ayat (3) huruf p UU 22/2001).
Selain itu, dalam Pasal 40 ayat (5) UU 22/2001, juga dikatakan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi (kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir) ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.
Melihat pada ketentuan-ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa memang ada peraturan-peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk membangun masyarakat di sekitar. ***