Oleh : Entang Sastraatmadja. (Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat) .
SEPERTI yang dijelaskan dalam Undang Undang No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang disebut dengan Kepala Daerah adalah Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
Akan tetapi, bila kita tengok kenyataannya, ternyata yang namanya Wakil, cenderung hanya sebagai pelengkap dari makna Kepala Daerah. Akibatnya wajar, jika kita bicara Kepala Daerah berarti membicarakan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Yang terjadi kemudian, apakah pilihan rakyat ini didasarkan atas Visi dan Misi yang disampaikan saat kampanye, atau karena popularitas calon Kepala Daerah ? Jawaban atas pertanyaan seperti ini boleh jadi akan debatibel.
Hanya, berbasis pada pengalaman yang ada, masyarakat kita belumlah tertarik untuk menganalisis Visi dan Misi yang diutarakan. Namun, mereka lebih terkesan bila ada calon Kepala Daerah yang bagi-bagi sarung, bagi-bagi sembako, bahkan rakyat akan berterima kasih sekali bila ada yang bagi-bagi uang.
Ya, seperti itulah mind-set sebagian rakyat terhadap penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ini terjadi, karena pendidikan politik untuk rakyat, terekam digarap tidak optimal. Pemerintah dan Partai Politik, tampak asyik mengurus dirinya sendiri.
Sekarang ini, kita jarang menyaksikan lagi acara yang berkaitan dengan pendidikan politik rakyat. Kalau pun ada, hanya sebagian kecil Partai Politik yang menyelenggarakan pendidikan politik. Sebuah suasana yang berbeda dengan kondisi di era sebelum reformasi.
Bicara soal Visi dan Misi Kepala Daerah pada saat kampanye, mestinya kita cermati dengan seksama. Ini sangat penting untuk dicatat. Sebab, Visi dan Misi inilah yang akan dijadikan dasar berkiprah selama 5 tahun, yang nantinya akan diperdakan menjadi RPJMD.
Langkah selanjutnya RPJMD bakal dibahas panjang lebar bersama para pemangku kepentingan. Kemudian akan diturunkan dalam program tahunan yang kita kenal dengan sebutan Rencana Kerja Pemerintah Daerah atau RKPD.
RKPD memang disusun bersama antara pihak Pemerintah dengan DPRD. Disinilah penting dicapai kesepakatan antara TAPD dengan Banggar/Panitia Anggaran. Pemerintah akan berbasiskan hasil Musrenbang. Sedangkan DPRD akan menyampaikan temuan hasil resesnya, untuk dijadikan bahan utama RKPD-nya.
Kendati sering terjadi konflik kepentingan, tapi dengan semangat kompromistik, baik itu dikemas dengan mengedepankan pendekatan aspiratif dan teknokratik, biasanya APBD dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati.
Sebagai negara agraris, lumrah bila sebagian besar Kepala Daerah akan menyimpan keberadaan sektor pertanian dan pangan dalam Visi dan Misi yang selanjutnya bakal dikampanyekan dan dijual kepada rakyat. Sektor pertanian, khususnya yang berkaitan dengan petani, tentu saja merupakan “lumbung suara” yang menjanjikan.
Bukan saja yang namanya petani masih tercatat sebagai jumlah terbesar warga bangsa, namun kalau saja ada Calon Kepala Daerah yang memperhatikan nasib dan kehidupannya, siapa tahu dirinya akan memperoleh simpatik dari para petani.
Anehnya, kendati pada saat kampanye para petani memperoleh perhatian khusus dari para Calon Kepala Daerah, ternyata setelah dirinya terpilih, terkadang apa-apa yang disampaikan pada waktu kampanye, kurang terejawantahkan dalam program maupun kegiatan di APBD-nya.
Kepala Daerah lebih memprioritaskan pembangunan yang bersifat fisik ketimbang yang berhubungan dengan pertanian atau pangan. Satuan Kerja Pemerintah Daerah seperti PUPR maupun PERKIM, biasanya bakal mendapat porsi yang cukup besar dibandingkan dengan SKPD yang tidak memiliki tugas fungsi pembangunan fisik atau infrastruktur.
Mencari Kepala Daerah yang mencintai pertanian secara tulus dan ikhlas, baik antara tutur kata dan perbuatan, rasa-rasanya cukup sulit jika dihadapkan pada suasana yang tengah terjadi saat ini. Mungkin kita hanya akan menemukan beberapa orang saja.
Masalahnya akan semakin rumit, tatkala Kepala Daerah tersebut memang orang yang sama sekali tidak menahami dengan cerdas soal pertanian dan petani. Lebih parah lagi, bila ada Kepala Daerah yang berlatar-belakang sarjana pertanian, namun sama sekali tidak mencintai pertanian.
Pertanian, sebetulnya sektor yang tahan banting. Paling tidak, ada dua kejadian yang patut kita catat dalam perjalanan pembangunan di negeri ini. Pertama adalah kejadian tahun 1997/1998. Tepatnya ketika dunia disodorkan pada krisis multi-dimensi yang berimbas kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Saat itu, laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi terekam bertumbuh negatif dan hanya pertanian yang tumbuh positif. Kedua adalah kejadian pandemi Covid 19. Sama dengan yang terjadi sekitar 23 tahun lalu, tercatat hanya pertanian yang tetap tumbuh positif.
Begitulah ketangguhan pertanian dalam peta bumi ekonomi nasional. Sektor lain terpuruk, pertanian tetap ajeg. Semoga dengan fenomena seperti ini, para Kepala Daerah akan semakin memperhatikan pertanian dalam kebijakan yang ditempuhnya. Bangsa ini butuh Gubernur, Bupati dan Walikota yang serius mencimtai pertanian. Bukan yang setengah hati.