Oleh : Entang Sastraatmadja. (Ketua Harian DPD HkTI Jabar)
ISU pupuk bersubsidi, rupanya belum mampu tersolusikan. Pilihan terhadap penghapusan atau tidak, terkait kebijakan pupuk bersubsidi ini tampak terus berlangsung. Berbagai pihak berusaha untuk menyampaikan gagasan terbaiknya. Langkah menghapus pupuk bersubsidi, tentu tidak boleh sembarangan. Kita butuh kearifan dalam memutuskannya.
Sebagaimana sudah diketahui, pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan mekanisme penyalurannya mendapatkan subsidi dari Pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program Pemerintah. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2020, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani yang telah bergabung dalam kelompok tani yang menyusun Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK). Sedangkan pupuk non subsidi diperuntukkan bagi perusahaan atau pelaku usaha.
Awal tahun ini, Presiden Joko Widodo, mengungkapkan, kekesalannya lantaran produksi pangan tak membaik. Ia lantas mempertanyakan apa manfaat triliunan rupiah yang telah digelontorkan dari APBN untuk subsidi pupuk. Kalau tiap tahun kita keluarkan subsidi pupuk kemudian tidak ada lompatan di sisi produksi, ada yang salah, ada yang enggak benar.
Persoalan pupuk subsidi ini tak hanya masalah data, maupun keterjangkauan pada petani. Namun, juga terkait dengan persoalan kelangkaan di lapangan. Kendati begitu, kita juga paham, kebijakan pupuk bersubsidi bukanlah barang baru bagi kita. Sejak masa Orde Baru pun, kebijakan pupuk bersubsidi telah menjadi pilihan Pemerintah untuk “membela” petani guna secepatnya mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Kegalauan Presiden Jokowi di atas, wajar terjadi. Sebagai orang yang diberikan mandat oleh rakyat untuk menakhkodai bangsa dan negara, tentu akan merasa risau. Apabila saat ini terdengar masih adanya perdebatan yang cukup panjang terkait pupuk bersubsidi ini. Akibatnya wajar, kalau kekecewaan Presiden Koloni di atas, penting kita carikan solusi terbaiknya. Termasuk di dalamnya soal penghapusan subsidi pupuk itu sendiri.
Saat ini sahabat-sahabat dari Kemenko Perekonomian, Sekretaris Kabinet dan pabrikan pupuk, terlihat cukup serius berdiskusi guna mencari langkah terbaik dalam penyelesaian soal pupuk bersubsidi ini. Pilihannya, tentu bukan hanya memutus bahwa subsidi pupuk itu dihilangkan. Akan tetapi, yang lebih penting untuk dipikirkan adalah apa yang akan diperbuat setelah keputusan penghapusan subsidi itu dilakukan.
Banyak pengamat mengingatkan, agar kita jangan gegabah dalam membuat keputusan ini. Paling tidak, ada 4 pendekatan yang perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Pertama, kita butuh kajian teknokratik terhadap kebijakan yang bakal diputuskan. Kita perlu alasan mengapa kebijakan pupuk bersubsidi harus dihapuskan. Apakah tidak ada langkah lain diluar pilihan penghapusan ?
Kajian teknokratik sebaiknya melibatkan banyak pihak. Para akademisi diharapkan untuk terjun langsung melakukan kajian ini. Kita percaya, apa yang akan dihasilkan kalangan kampus bukan sebuah rekayasa, apalagi sebuah pesanan. Kajian teknokratik juga harus mampu memberi pilihan-pilihan cerdas lainnya, bila subsidi pupuk akan dihapuskan.
Kedua adalah pendekatan aspiratif. Pendekatan ini berbasis kata hati yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Artinya, apa yang diputuskan, jangan sekali-kali melupakan “suara rakyat”. Itu sebabnya, sebelum penghapusan subsidi pupuk ditetapkan, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang menjadi keinginan dan harapan masyarakat. Termasuk di dalamnya suara para pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan pupuk bersubsidi ini.
Ketiga adalah pendekatan “top down-bottom up”. Pendekatan atas-bawah ini diarahkan untuk menuju ke satu titik, temu antara kemauan penyelenggara negara dengan masyarakat. Kita perlu tahu dengan pasti, apa kebijakan Pemerintah sekiranya subsidi pupuk dihapuskan ? Lalu, kita juga perlu mengerti apa yang diinginkan masyarakat. Melalui pendekatan ini, diharapkan akan diperoleh suatu kesepakatan terkait aps yang bakal diputuskan Pemerintah.
Keempat adalah pendekatan politis. Pendekatan ini penting, karena apa yang akan diputuskan, tentu akan berhubungan dengan politik anggaran Pemerintah, khususnya APBN. Dengan dihapuskannya subsidi pupuk, secara politis, Pemerintah akan menempuh langkah apa terhadap anggaran yang selama ini disubsidikan kepada petani. Apakah akan digunakan untuk membiayai kebijakan baru atau akan digunakan untuk kebutuhan lain. Harapan kita, sebaiknya anggaran tersebut tetap diarahkan bagi peningkatan kesejahteraan petani.
Ke empat pendekatan ini sebaiknya dilakukan secara sistemik dan holistik. Sehingga keutuhan empat pendekatan ini dapat kita cermati dengan seksama. Kajian terhadap penghapusan subsidi pupuk, tidak boleh dilakukan secara parsial. Hal ini akan menjadi lebih parah, kalau dibalik semua ini ada kepentingan lain yang mengiringinya. Semangat utamanya adalah bagaimana langkah yang harus dilakukan, bila subsidi pupuk itu dihapuskan, kesejahteraan petani tetap dapat ditingkatkan.
Subsidi pupuk dijadikan pilihan kebijakan, pada hakekatnya merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah kepada petani miskin yang kondisi kehidupannya masih memprihatinkan. Pemerintah optimis, bila subsidi pupuk diberikan, selain diarahkan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian, pendapatan petani juga akan dapat ditingkatkan. Kalau selama ini, semangat yang demikian belum dapat diwujudkan, maka menjadi tugas kita bersama untuk memperbaikinya.
Diskusi dihapus atau tidaknya subsidi pupuk versi yang sekarang berlaku, kelihatannya akan sangat menarik untuk dicermati lebih dalam. Bagaimana pun yang namanya petani miskin, tetap harus dibela dan dilindungi. Semangat Pemerintah untuk memberdayakan petani miskin, terekam masih belum serius digarap Pemerintah. Kita memang sudah memiliki UU No. 19/2013 dan UU No.11/2020. Kedua UU ini memiliki semangat untuk memberdayakan dan melindungi petani. Sayang, dalam pelaksanaannya belum seindah regulasinya.
Subsidi pupuk yang ditempuh selama ini, salah satu spiritnya adalah melindungi petani dari permainan oknum-oknum tertentu yang ingin memarginalkan kehidupan petani. Kendati dalam perjalanannya masih ada perlakuan yang tidak sesuai dengan cita-citanya, kita berharap agar Pemerintah mampu melahirkan solusi terbaiknya. Dihapus atau tidaknya subsidi pupuk, tentu harus berdasar kajian yang berkualitas. Hanya akan tidak bijak, bila dalam satu RW ada beberapa orang yang sakit kudis, lalu kita cap seluruh warga RW tersebut kudisan semua. Begitu pun dengan kebijakan pupuk bersubsidi ini.