Oleh : HAIRUZAMAN.
(Editor In Chief Harianexpose.com)
BELAKANGAN ini rakyat selalu disuguhi drama berseri panggung politik yang sangat tidak menggembirakan dan sama sekali tak beretika. Saling mengklaim bahwa kelompoknya yang lebih berhak sebagai pucuk pimpinan partai. Saling sikut antar teman bukan hal yang aneh dalam kancah politik. Celakanya, konflik tersebut sering berakhir di meja hijau demi memperebutkan jabatan dan kekuasaan.
Potret buram dunia politik itu seperti adanya kisruh di Partai Demokrat baru-baru ini yang dilakukan oleh kubu Moeldoko yang menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) dengan kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Konflik internal ditubuh Partai Demokrat itu akhirnya dianulir oleh Kementerian Hukum dan HAM. Akan tetapi, kubu Moeldoko Cs, tak puas hanya sampai disitu. Kubu Moeldoko pun kemudian melakukan gugatan ke PTUN. Gugatan kobu Moeldoko itu dinilai kubu AHY sama sekali tidak mempunyai “legal standing”.
Konflik internal partai politik tidak hanya menimpa Partai Demokrat besutan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saja. Namun, kasus serupa juga pernah terjadi pada partai Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Ditubuh PKS antara kubu Anies Mata dan Fahri Hamzah serta di Partai Berkarya antara kubu Tommy Soeharto dengan Muchdi PR. Belakangan, pada gelaran Munas PAN juga terjadi kisruh antara kubu Amien Rais dan Zulkifli Hasan.
Bos Metro TV, Surya Paloh, akhirnya mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Kubu Fahri Hamzah mendirikan Partai Gelora. Sementara kubu Amien Rais kemudian mendirikan Partai Umat. Beberapa tokoh politik itu mendirikan partai politik baru pasca berseteru dengan internal ditubuh partainya masing-masing.
Drama berseri panggung politik di Indonesia motivasinya nyaris sama. Tujuannya tak lain ialah untuk memperebutkan jabatan dan kekuasaan. Di dunia partai politik hal itu seperti sudah lazim terjadi. Dimana ada sebuah adagium yang berbunyi bahwa tak ada kawan sejati dalam dunia politik, tapi yang ada hanya kepentingan. Antara manusia dan kelompok tertentu saling sikut dan menikam. Tak peduli itu kawan, yang penting bagi kelompoknya menguntungkan.
Situasi seperti itu pernah dideskripsikan oleh Plautus, yang terkenal dengan “Homo Homini Lupus”. Menurut Plautus bahwa “manusia adalah serigala bagi sesama manusianya”. Oleh Plautus, istilah tersebut dicetuskan melalui karyanya yang berjudul “Asinaria”.
Jika diinterpretasikan kalimat Homo Homini Lupus itu bahwa manusia itu sering menikam sesama manusia lainnya. Istilah yang digagas oleh Plautus itu kerap muncul dalam diskusi-diskusi publik maupun terbatas terkait dengan kekejaman yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya.
Sementara itu, muncul pula perlawanan dari istilah kalimat yang dicetuskan oleh Plautus tersebut. Adapun bentuk kalimat perlawanan Homo Homini Lupus adalah Homo Homini Socius, yang berarti manusia adalah teman bagi sesama manusianya, atau manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya yang digagas oleh Seneca. Kedua kalimat Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius itu sebagaimana yang tercantum dalam karya Thomas Hobbes dalam karyanya yang berjudul De Cobe (1651).
Homo Homini Lupus belakangan ini sering terjadi di tubuh partai politik di Indonesia. Teman menjadi lawan dan saling menerkam. Padahal sejatinya elite partai politik itu harus memberikan edukasi yang baik terhadap rakyatnya. Bukan justru memberikan contoh dan teladan yang dinilai sangat kontroversial. Sebab, pada ghalibnya kekuasaan dan jabatan itu tidak akan kekal selamanya bersamaan dengan bergulirnya waktu.
Diharapkan pula ke depan, para elite partai politik dapat menghentikan drama berseri perebutan jabatan dan kekuasaan. Apalagi saat ini kehidupan rakyat tengah terpuruk secara ekonomi akibat dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang masih bercokol di Indonesia.
Napsu serakah para elite partai politik tersebut semoga tidak terus-menerus terjadi. Sehingga konflik di internal setiap partai politik itu tidak berdampak buruk terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia. Jadi, hentikan Homo Homini Lupus. Sebab, pada ghalibnya manusia itu ialah makhluk sosial yang saling membutuhkan atau Homo Homini Socius. *)