Oleh : HAIRUZAMAN.
(Editor In Chief Harianexpose.com)
MEDIA massa dapat dikategorikan bersifat komersial mana kala produk jurnalistik itu lebih ditekankan pada meraih suatu keuntungan secara materi. Baik itu dari segi penjualan produk jurnalistik seperti, koran, tabloid dan majalah, maupun dari penjualan iklan/advertorial. Produk jurnalistik yang bersifat komersial mempunyai legalitas badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
Sementara itu, industri pers lazimnya dipimpin oleh seorang Pemimpin Umum/Perusahaan, yang bertanggung jawab terhadap penjualan produk jurnalistik, termasuk pendapatan dari iklan/pariwara/advertorial. Secara struktural, Pemimpin Perusahaan membawahi Staf Marketing dan Iklan. Sedangkan dibidang keredaksian, media massa komersial dipimpin oleh seorang Pemimpin Redaksi (Editor In Chief) dan dibantu oleh Redaktur Pelaksana (Managing Editor). Baik itu Pemimpin Redaksi maupun Redaktur Pelaksana, bertugas digarda terakhir untuk melakukan proses editing naskah berita/tulisan yang dilaporkan oleh para wartawan yang meliput suatu kejadian/peristiwa tertentu.
Seorang Pemimpin Redaksi berhak untuk menentukan suatu berita tertentu yang ditulis oleh wartawan itu laik tayang atau mungkin dibuang ke tempat sampah lantaran tidak memenuhi syarat untuk ditayangkan. Sebelum suatu berita ditayangkan, tentu saja akan melalui proses editing. Pemimpin Redaksi bethak untuk mengurangi dan menambahkan redaksi suatu berita agar mudah dipahami oleh publik pembaca.
Kendati seorang Pemimpin Redaksi merubah naskah berita yang ditulis oleh wartawan, akan tetapi tidak boleh merubah isi dan makna suatu berita. Proses editing harus melalui tahapan-tahapan yang ketat. Misalnya, menghilangkan kata-kata yang bersifat mubadzir karena selalu diulang-ulang penulisannya dalam suatu kalimat. Menulis kata-kata berbahasa Inggris maupun bahasa ilmiah yang benar, serta proses editing lainnya.
Melihat tugas seorang Pemimpin Redaksi yang begitu berat itu, sehingga ia harus memiliki pengetahuan yang luas bukan hanya menguasai tata bahasa Indonesia jurnalistik saja. Akan tetapi, seorang Pemimpin Redaksi juga harus menguasai berbagai bidang keilmuan lainnya. Sehingga seorang Pemimpin Redaksi itu harus mempunyai pengalaman dan telah berkiprah didunia jurnalistik dalam rentang waktu yang cukup lama.
Dulu ketika masih masa Orde Baru, seseorang bisa menduduki jabatan sebagai Pemimpin Redaksi minimal telah berpengalaman sebagai Redaktur/wartawan selama 15 tahun. Sangat berbeda terbalik dengan pers di era Reformasi sekarang ini. Kendati baru terjun di dunia jurnalistik, namun bisa langsung menjabat sebagai Pemimpin Redaksi. Padahal seorang Pemimpin Redaksi harus mempunyai skills dibidang ilmu jurnalistik, mempunyai pengetahuan yang luas serta mengemban tugas yang begitu berat sebagai garda terakhir keredaksian.
Produk jurnalistik yang tidak termasuk kategori komersial biasanya hanya untuk lingkungan terbatas saja. Misalnya, penerbitan majalah atau buletin yang ada di dinas/instansi pemerintah. Termasuk di lingkungan perusahaan swasta maupun BUMN/BUMD. Bedanya, jika pada produk jiurnalistik komersial bidang keredaksian dipimpin oleh Pemimpin Redaksi, akan tetapi, untuk produk jurnalistik yang non komersial dipimpin oleh seorang Ketua Penyunting dan dibantu oleh Penyunting serta beberapa orang Kontributor (bukan disebut wartawan seperti pada produk jurnalistik komersial). Selain produk jurnalistik non konersial hanya untuk lingkungan terbatas, juga tidak diperjual belikan di pasaran layaknya produk jurnalistik komersial yang dijual di agen-agen atau pengecer surat kabar.
Pada produk jurnalistik komersial dalam menjalankan tugas kewartawanan, harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Hal itulah yang membedakan produk jurnalistik komersial dan non komersial. Sehingga diharapkan tidak muncul kesalahan dalam memahami jurnalisme yang saat ini tumbuh begitu subur di tanah air.*)