(Bagian 9)
Oleh : HAIRUZAMAN.
(Editor In Chief Harianexpose.con)
Historiografi Hoesein Djayadiningrat
Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu yaitu historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi. Berkembangnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah dengan cermat dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya dengan tepat.
Historiografi Indonesia modern dimulai pada tanggal 14-18 Desember 1957. Ketika itu Kementrian Pendidikan mengadakan Sejarah Seminar Nasional yang pertama di Yogyakarta. Sejak itu, penulisan sejarah Indonesia mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Sehingga dengan demikian dapat dilihat perkembangan Indonesia-sentris yang mulai beranjak. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh bagi perkembangan sejarah itu sendiri.
Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Sehingga objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Hal itu karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi.
Selama belajar di Universitas Leiden, Belanda, selain tidak tertinggal oleh kemampuan para mahasiswa Eropa, Hoesein Djayadiningrat pun berhasil menunjukkan prestasinya.
Karya Hoesein Djajadiningrat
Dalam buku Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten Pendekatan yang digunakan oleh Hoesein Djajadinigrat adalah dengan cara menganalisa ciri-ciri penulisan sejarah Jawa. Dimana dalam naskah sejarah Banten terdapat tiga redaksi kroni yaitu : yang tertua dari tahun 1662/1663, yang selanjutnya cerita sejarah itu dirangkai ke dalam kerangka suatu cerita, sedangkan tentang pendahuluan dibicarakan secara panjang lebar. Contohnya adalah Babad Kediri Sementraa itu, cerita sejarah di bagi menjadi dua bagian yakni, (1) menguraikan tradisi- tradisi yang longgar tentang zaman yang lebih tua di seluruh Jawa. (2) membicarakan tentang peristiwa- peristiwa di Banten sejak masuknya agama Islam hingga zamannya penulis kronik itu, dimana yang pertama jauh lebih ringkas dari pada yang kedua.
Kronik-kronik Jawa merupakan perbendaharaan dari dongeng- dongeng Bumi Putra tidak asli melainkan kembali pada prototip Hindu dan ada unsur-unsur yang berasal dari Hindu. Contohnya dalam dongeng Sunan Giri. Ciri-ciri pokok dongengnya adalah, Bayi itu dikatakan sebagai bencana. Oleh karena itu, bayi dibuang ke laut dalam sebuah peti, peti tersebut diselubungi cahaya yang penuh rahasia. Hal itu bertujuan untuk menarik perhatian orang agar mau mengangkat bayi itu dari dalam laut dan suatu mukjizat untuk kepentingan bayi itu keluar air susu dari buah dada seorang wanita.
Salah satu karya Hoesein Djayadiningrat adalah “Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten”. Gaya penulisan Sajarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria, yaitu menceritakan suatu kisah melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam diubah melalui percakapan putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian pula Sajarah Banten merupakan percakapan antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra.
Sajarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi oleh Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian pertama (pupuh 1-16) isinya mirip dengan Babad Tanah Jawi, yang menceritakan Kerajaan Galuh dan Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh 17-66) khusus menceritakan Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan Mataram.Yang dianalisis oleh Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sajarah Bante karena bagian yang berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 itu beliau raih dengan pujian (cum laude).
Dengan menggunakan catatan Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta membandingkannya terhadap tradisi lokal yang lain, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi Sajarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama (1552-1570). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin, Banten menaklukkan Pakuan Pajajaran. Maulana Yusuf digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang. Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan dengan kedatangan orang Belanda yang pertama kali di pelabuhan Banten pada bulan Juni 1596.
Kemudian Banten diperintah putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta) tahun 1619. Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra tahun 1628-1629 menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekkah yang mewakili Sultan Rum (Turki) untuk meminta gelar Sultan. Maka Pangeran Ratu memperoleh gelar Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar sultan. Pada saat Sajarah Banten disusun tahun 1663, Banten diperinah oleh cucu Pangeran Ratu, Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang gigih melawan Belanda.
Prof. Dr. Hoesein Djayadiningrat juga menguraikan latar belakang isi Sajarah Banten yang tidak merupakan fakta sejarah. Misalnya, silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan memposisikan Banten sebagai kesinambungan dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit. Akan tetapi, tidak semua pendapat Prof. Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Identifikasi ini diamini oleh banyak ahli sejarah. Baru pada tahun 1957, sejarawan Belanda R.A. Kern mencoba menyangkal pendapat umum itu. Namun waktu itu argumentasinya belum cukup kuat.
Penyaman Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari pada tahun 1970 di Cirebon. Naskah yang ditulis abad ke-17 itu mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan kota Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama aslinya Fadillah Khan. Adapun Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon dan salah seorang Wali Songo, merupakan keturunan Pajajaran, dan nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dan adalah Sunan Gunung Jati, bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten.
Selain buku Tinjauan Krtis Tentang Sejarah Banten masih ada karya-karya lain yang ditulis oleh Husein Joyodiningrat diantara karya-karya tersebut antara lain yaitu sebagai berikut:
- Mohammedaansche wet en het geerstelsen der Indonesische Mohammedanen( pidato ilmiah di Sekolah Tinggi Hukum, 1925).
- De Magische achtergrond van de Maleische pantoen( pidato ilmiah dina raraga mieling tepung taun STH ka-9, 1933).
- De naam can den eerste Mohhedaanschen vorst in west java(1933).
- Apa Artinya Islam(pidato ilmiah teoung taun UI ka-4).
- Hari lahirnya Djajakarta(1956).
- Konttekeninggen bij “ het Javaanse Rijk Tjerbon un de eerste eeuwen van zijn bestaan (1957).
- Islam in Indonesia(Dina Kenneth D. Morgan , Islam the straight Path, 1956).
- Pengaruh Islam di Iran dina Islam di Indonesia( Dina Ivan Noris , 1959).
- Local Tradition and the Study of Indonesian History(Dina Soedjatmoko, dkk., An Introduction to Indonesian Historiography, 1965).
Pada waktu mempertahankan disertasinya itu usia beliau baru menginjak 27 tahun. Dalam studinya Husein Djajadiningrat mengkaji 10 naskah yang ditulis dengan menggunakan tiga jenis aksara (Pegon, Jawa, dan Latin) dan bahasa Jawa, serta berasal dari koleksi Prof. Snouck Hurgronje (4 naskah), koleksi Dr. D.A. Rinkes (1 naskah), Bijbel Genootschap (1 naskah), koleksi Brandes (2 naskah), koleksi Warner (1 naskah). (Bersambung).