Oleh : Prof. Dr. H. Fauzul Iman, MA.
(Akademisi dan Cendekiawan Muslim).
ADEGAN kehidupan dunia yang dipertunjukkan penuh dengan simbolitas dan simulasi terus bergulir dalam rutinitas kemanusiaan. Keinginan hidup meningkat untuk dihargai merupakan naluri/ gharizah semua umat manusia. Dalam melangsungkan kehidupannya manusia tidak selalu sama mendayagunakan cara yang ditempuhnya. Ada yang menempuh dengan bersahaja, elegan, smart dan bersahabat. Ada juga yang menempuh dengan menghalalkan segala cara.
Perbedaan itu terletak pada karakter dan motivasi yang diburu/ dirayakan oleh hasrat (desire celebration) yang bersangkutan. Sebagai penikmat hidup manusia berkewajaran ingin memenuhi hasrat pemilikan kebendaan sebagaimana yang dimiliki sesama. Boleh jadi, karena tuntutan mendesak untuk menghidupi keluarga, manusia berupaya sekuat tenaga dan dengan penuh ikhlas mencari usaha sebagai pekerja berat. Namun, tak terlihat dari yang bersangkutan sedkit pun pancaran wajahnya tertekan mencekam, gelisah atau suram penuh kesusahan.
Di segmen berbeda dijumpai banyak insan terdidik yang mencari penghidupan bersahaja tanpa neko-neko. Istikomah dengan keadaan yang telah dicapai. Tidak berlebih dan tidak merasa kekurangan. Di segmen insan terdidik pula dijumpai beragam kesuksesan dengan dunia profesi high sucses yang ditempuh dengan cara-cara kerja keras dan powerfull.
Ekpansi perusahaannya meluas di berbagai wilayah dan manca negara. Dengan kekayaannya yang berlebih itu ia senang berbagi pada kaum du’afa dan berkontribusi untuk dunia pendidikan umat.
Tidak diingkari pula di segmen terdidik ini ada yang gaya hidupnya cenderung memilih jalan instan. Jalan ini diburu lantaran tidak tahan menyaksikan lingkungan dekat dan kawan-kawan seangkatannya meraih hidup serba wah dibanding dirinya. Godaan rasa gengsi yang selalu menghantuinya ia lalu membuat kompetisi seraya merancang sendiri rumus/angka statistika kehidupannya yang penuh kepahitan itu dengan mimpi-mimpi gelimang kebahagiaan. Keadaan gamang yang membayang-bayangi sanak keluarga dan kolega terdekatnya yang berhiaskan rumah dan kendaraan mewah, ia pun dengan segenap cara melakukan bagaimana agar sanak dan keluarganya merasakan gelimang kemewahan yang dapat menandinginya.
Tidak mengherankan apabila orang-orang terdidik ini, seperti yang digambarkan Marshall Hodgson, dalam bukunya : “The Venture of Islam” telah terseret ke arus phatalogi/penyakit sosial, yaitu penyakit jiwa secara berkemajemukan yang menimpa mereka. Karena terhinggapi budaya berselera rendah (soft culture). Penyakit ini, demikian Marshel menyoroti lebih jauh, karena kaum terdidik itu meniru gaya kolega terdekatnya dalam siklus hidup penuh simulasi tanpa berkeimanan yang diajarkn Nabi Muhammad SAW dalam sejarah peradaban. Hidup seperti ini, tegas Marshall adalah hidup yang berpaling dari sejarah (a historis).
Fenomena kaum terdidik yg terjangkit penyakit simulatif ternyata menimpa pada banyak politisi dan pejabat negeri. Politisi yang dahulunya berhati teduh dengan pesan-pesannya yang profetik. Mengajak jalan yang lurus agar menjaga harta negara. Tiba-tiba pesan yang ditampilkannya itu berbeda dengan kenyataan setelah menjadi Menteri. Ia bermain simulasi belaka karena berani melakukan korupsi dan tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ironisnya, sang Menteri bermain simulasi lagi dengan menyesali perbuatannya dan memohon dibebaskan dari hukuman pidana korupsi lantaran kehidupan anak-anaknya yang masih kecil tertekan dengan berita yang membuli dan mencaci.
Siklus simulasi terjadi juga di kalangan oknum aparat / penegak hukum yang memainkan perkara anggotanya yang terlibat korupsi. Oknum penegak hukum yang sejatinya menerapkan hukum seadil-adilnya sesuai dengan kualitas perbuatannya, justru disimulasi dengan hukuman ringan. Bahkan, isu terakhir menguap bahwa sang koruptor itu masih menerima gaji. Masih terkait dengan perilaku simulatif penegak hukum, baru-baru ini telah terjadi pula penegakan hukum tebang pilih pada pengusaha warga keturunan pelaku korupsi kelas berat. Padahal sang pengusaha telah terbukti melakukan perampokan harta negara dengan nilai yang amat fantastik. Belum lagi tindakan-tindakan konyol yang dilakukan sebelumnya tidak beritikad mematuhi panggilan pengadilan karena kabur ke luar negeri. Tindakan aparat hukum paling klimaks yang kurang menyenangkan justru yang bersangkutan telah diberikan remisi dua bulan. Ini jelas terdapat perbedaan yang amat mencolok dengan yang selama ini diberlakukan pada pelaku lain yang seharusnya dibebaskan dari hukuman pidana.
Tindakan simulatif ini bagi pandangan sementara pihak mungkin saja dipandang hal biasa karena dilakukan secara privasi yang pada ujungngya akan selesai sendiri. Pandangan ini sungguh absurd dan amat naif membiarkan mereka tercebur dalam preseden buruk yang efeknya tak terhindarkan mengkristal pada tindakan korup yang selalu terjadi di level kelembagaan. Bukan rahasia lagi, publik sudah mengetahui perilaku lembaga negara yang berkoalisi besar dengan pemerintah di satu sisi dan dengan pihak oligarki di sisi lain. Alih – alih ini merupakan simulasi raksasa yang rentan korup dengan membuat kebijakan yang hanya menguntungkan pihak elit berduit dan makin meminggirkan kaum yang sedang benar-benar terjepit.
Kondisi tragis ini jangan dibiarkan berlalu yang menyebabkan negara tidak dikelola dengan serius sesuai aturan dan ideologi yang berlaku. Negara tidak boleh dicabik menjadi institusi mainan simulasi yang dipenuhi para pengelola hedonis bermental manja yang otaknya gemar berhayal bergelimang dengan kemewahan. Padahal tanpa disadari bahwa yang bernama bergelimang kemewahan itu hanyalah simulasi kebanggaan/kebahagiaan sesaat di dunia yang kelak akan dirontokkan juga oleh Maha Pemilik-Nya. Barangkali inilah yang dimaksud dengan pesan Tuhan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan/simulasi dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” ( Q.S. 57 : 20).*