Belajar Daring, Proses Pembodohan (Secara) Sistemik?

Oleh : HAIRUZAMAN
(Pemerhati Masalah Pendidikan dan Sosial).

SELAMA masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), semua sekolah dilarang untuk melaksanakan proses kegiatan belajar secara “face to face” (tatap muka). Selama dua tahun terakhir ini di era pemerintahan Presiden Jokowi, setiap sekolah melakukan proses pembelajaran secara daring melalui perangkat telephone seluler (handphone) di rumah masing-masing.

Selama proses pembelajaran daring dilakukan dirumah, dampak negatifnya begitu besar terhadap sikap dan perilaku anak-anak, termasuk para orang tua yang mengeluh lantaran banyak mengeluarkan uang untuk membeli pulsa. Ada pula orang tua yang mendadak harus membelikan anaknya handphone agar bisa belajar jarak jauh tersebut. Padahal untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja mereka harus banting-tulang

Celakanya, dengan sistem pembelajaran daring itu, justru berdampak buruk pada perilaku anak-anak. Selain malas untuk belajar, anak-anak juga lebih banyak bermain game. Perubahan buruk terhadap sikap dan perilaku anak itu tentu saja membuat gamang para orang tua. Sebab, belajar secara daring itu mempunyai banyak keterbatasan dan kekurangan ketimbang belajar yang dilakukan secara “face to face”.

Dalam ilmu pendidikan dikenal dengan istilah Phaedagogy yakni, seni atau ilmu untuk mendidik anak. Dengan bekal ilmu Phaedagogy itu pula para guru selama ini melakukan prosea kegiatan belajar di kelas. Setiap guru mempunyai target proses kegiatan belajar itu yang diharapkan terjadi perubahan pada siswa sesuai dengan kurikulum pendidikan. Perubahan yang diharapkan itu antara lain secara kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku) .Ketiga ranah itu akan terlihat setelah guru melakukan evaluasi proses kegiatan belajar mengajar di kelas.

Sejatinya, jika berpedoman pada ketiga ranah dalam sistem pendidikan yakni kognitif, afektif dan psikomotorik itu kita akan bisa mengetahui sejauhmana guna mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran daring yang diterapkan oleh pemerintah selama ini. Kita bisa mengukur kemampuan pengetahuan anak-anak melalui ranah kognitif. Sedangkan untuk mengukur adanya perubahan sikap anak dengan melalui ranah afektif serta ranah psikomotorik dengan melihat perubahan pada perilaku anak setelah selesai mengikuti proses pembelajaran daring.

Jika kita tarik sebuah konklusi selama proses pembelajaran daring dilaksanakan selama masa pandemi Covid-19, tentu saja hasil yang dicapai tidak akan bisa maksimal. Hasil evaluasi pembelajaran secara daring akan jauh berbeda dengan proses belajar secara “face to face” di kelas. Sebab, ketika guru memberikan belajar di kelas, mereka telah mempunyai target dengan menggunakan capaian melalui ramah kognitif, afektif dan psikomotorik sesuai kurikulum pendidikan nasional.

Menurut kaca mata penulis, proses pembelajaran secara daring selama masa pandemi Covid-19 ini merupakan proses pembodohan yang dilakukan secara terstruktur dan sistemik. Sebab, dengan pemberlakuan sistem pembelajaran daring, terutama anak-anak yang akan menjadi korbannya. Dampak buruk tersebut tak pernah terpikirkan oleh pemerintah selama ini.

Saat ini sebagian besar wilayah kota/kabupaten yang ada di seluruh provinsi di Indonesia telah mulai menerapkan sistem belajar secara tatap muka. Kendati demikian, masih ada sebagian kecil lagi yang melarang belajar tatap muka dengan dalih level Covid-19 belum mengalami penurunan. Sehingga pemerintah tak berani mengambil regulasi yang menurut versi mereka akan mengundang resiko, terutana angka penyebaran Covid-19 yang khawatir akan melonjak kembali.

Padahal, sejatinya pembelajaran secara tatap muka itu bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai solusi. Misalnya, menerapkan protokol kesehatan (Prokes) Covid-19 yang ketat, membuka kelas secara terbatas maksimal 10 orang dan dilakukan secara bergilir. Kegiatan belajar tatap muka secara bergelombang itu merupakan suatu solusi agar tidak muncul cluster baru penyebaran wabah Covid-19.

Masyarakat terutama para orang tua saat ini menjadi gamang seandainya proses belajar daring akan terus berlanjut secara berjilid-jilid. Pasalnya, proses belajar daring mengalami banyak kekurangan dan berdampak negatif bagi perkembangan siswa didik. Jika dilihat dari perspektif politis, disinyalir pemberlakuan pembelajaran daring tak ubahnya merupakan proses pembodohan yang dilakukan secara terstruktur dan sistemik.

Melihat fakta-fakta empiris di atas, bagi pemerintah tak punya alternatif lain untuk kembali memberlakukan belajar tatap muka di seluruh negeri tercinta ini. Karena masa depan bangsa ini sangat bergantung pada kualitas pendidikan generasi yang akan datang. Wallahu’alam Bishowab.

Www.Harianexpose.com @ 2020 "The News Online Portal Today"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top