Oleh : Hairuzaman.
(Editor In Chief Harianexpose.com)
“Oemar bakre, Oemar bakre, pegawai negeri…”
Penggalan lagu di atas pernah dipopulerkan oleh penyanyi legendaris, Iwan Fals. Lagu berjudul “Oemar Bakre” yang dirilis pada era pemerintahan Orde Baru (Orba) dibawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto, itu sampai saat ini masih digandrungi oleh banyak kalangan. Bukan hanya lantaran aransemen lagunya yang enak didengar di telinga para penggemar, akan tetapi kandungan isi lagu tersebut yang bermuatan kritik sosial terhadap keberadaan guru yang dijuluki “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.
Pasalnya, kendati profesi guru telah melahirkan profesor, pejabat birokrat, pengusaha yang sukses dan berbagai profesi lainnya, namun saat itu gaji guru terbilang sangat kecil. Tak ayal, sehingga selepas mengajar, banyak kalangan guru di kala itu yang nyambi pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Namun, saat ini profesi guru banyak diminati para pencari kerja. Sebab, gaji guru sekarang sudah mulai mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Tak hanya menerima gaji bulanan, saat ini guru juga mendapatkan berbagai tunjangan sebut saja seperti tunjangan sertifikasi dan sebagainya. Sehingga kesejahteraan guru tampak sudah mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Gaji yang lumayan besar dan ditambah tunjangan itu sepatutnya sangat wajar diterima oleh profesi guru. Tugasnya yang cukup mulia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tak terbantahkan. Sebab, guru menjadi penerang dan cahaya dalam kegelapan. Guru juga menjadi teladan dan sekaligus pengganti orang tua dalam mendidik anak-anak bangsa. Dengan harapan kelak mereka menjadi manusia yang tumbuh cerdas dan trampil serta bermanfaat bagi orang tua, masyarakat, agama, bangsa dan negara.
Kehadiran sosok guru di tengah-tengah masyarakat juga kerap menjadi panutan. Guru merupakan ‘agent of change’ dalam tatanan struktur sosial kemasyarakatan. Sosok guru juga terkadang berada di depan sebagai teladan, di tengah-tengah untuk mengobarkan semangat dan dibelakang guna memberikan spirit dan motivasi. Bahkan, seperti bunyi sebuah adagium yang begitu tersohor ; Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (Ki Hajar Dewantara).
Di ruang kelas yang pengap, dengan ilmu phaedagogik yang dimilikinya, guru mengajarkan anak-anak didiknya agar bisa menulis, membaca, berhitung raraban dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Tak hanya itu, guru juga mengajarkan perilaku dan moral yang baik terhadap anak-anak didiknya. Hal itu tak lain supaya mereka selalu berbakti kepada kedua orang tuanya di rumah. Termasuk mengajarkan sopan santun, budi pekerti, tata krama dan selalu menghormati siapa saja yang usianya lebih tua.
Mengutip teori ahli pendidikan yang cukup terkenal yakni John Locke, yang pernah mengatakan bahwa anak-anak didik itu ibarat sebuah kertas berwarna putih. Dan gurulah yang menulisi kertas putih tersebut. Jika di analisis, teori pendidikan yang dilontarkan oleh John Locke itu menyadarkan kita bahwa tugas guru itu tidaklah ringan. Sebab, guru bukan hanya bertugas untuk mentransfer ilmu pengetahuan saja kepada anak-anak didiknya. Akan tetapi, ia juga harus memperhatikan sikap dan perilaku anak-anak didiknya.
Dapat ditarik sebuah konklusi bahwa peran seorang guru di ruang kelas dengan dihimpit oleh tembok dinding yang tinggi tersebut terdapat tiga ranah yang sangat kardinal antara lain, afektif (perubahan sikap), kognitif (ilmu pengetahuan) dan psikomotorik (perubahan perilaku) yang terjadi pada anak-anak didiknya. Ketiga ranah dalam dunia pendidikan tersebut merupakan barometer bagi kalangan guru dalam mendidik para siswanya di dalam ruangan kelas.
Menganalisa peran dan tugas guru yang terbilang tidak mudah itu, barangkali sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian terutama terkait dengan kesejahteraan guru. Terlebih lagi pada guru yang masih berstatus sebagai tenaga honorer. Sebab, ternyata saat ini masih banyak tenaga guru honorer dengan gaji yang sangat minim. Sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Selamat Hari Guru.**