Oleh : Hairuzaman
(Penulis Buku Kamus Jurnalistik Kontemporer)
Sampai saat ini masih banyak para wartawan yang merasa kebingungan dan salah dalam menulis berita ketika mencantumkan gelar akademik pada nama seorang nara sumber. Karena itu, dalam setiap kesempatan saat memberikan materi Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Jurnalistik maupun obrolan di warung kopi dengan beberapa orang wartawan, Penulis sering membahas masalah tersebut. Pasalnya, hingga sekarang ini masih banyak kalangan insan pers yang belum memahami cara penulisan gelar akademik yang benar . Hal ini bertujuan guna menghindari agar para wartawan tidak salah lagi dalam menulis berita dan akhirnya menyesatkan publik pembaca.
Namun, ada pula wartawan yang tidak mau mencantumkan gelar akademik seorang nara sumber semata-mata hanya untuk menghindari kesalahan dalam menulis sebuah berita. Padahal saat pertama kali menulis nama seorang nara sumber dalam plot (kepala berita) atau tubuh berita misalnya, apabila nara sumber tersebut mempunyai gelar akademik seperti, Dr, M.Si, MM, M.Kes, M.Ag, Lc, Drs, Ir, S.Pd, S.Pdi, harus ditulis secara lengkap di depan atau dibelakang nama seseorang.
Ada pula gelar non akademik yang diraih oleh seorang nara sumber lantaran mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu misalnya, gelar Prof, Doktor Honoris Causa (HC), KH, Ustadz, maupun gelar non akademik lainnya. Saat menulis pertama kali dalam berita, maka harus ditulis namanya secara lengkap dan benar. Setelah itu, jika mau menulis namanya lagi, maka kita cukup menulis nama panggilannya saja. Artinya, kita tak perlu menulis nama seseorang secara lengkap seperti semula. Contoh : “Penjabat Gubernur Banten, Dr. Al Muktabar”. Berikutnya kita cukup menulis, “Al Muktabar” (tanpa mencantumkan gelar akademik). Jangan sekali-kali membuat kesalahan dengan menulis namanya terlebih dahulu misalnya, “Al Muktabar, selaku Penjabat Gubernur Banten”.
Contoh lain : “Walikota Cilegon, H. Helldy Agustian, SE, MH. Berikutnya kita cukup menulisnya dengan nama panggilan “Helldy” saja. Contoh lain, “Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, yang akrab dipanggil Jokowi (nama panggilan), berikutnya kita cukup menulis dengan nama “Jokowi” saja. Contoh lain, “Mantan Presiden RI, Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berikutnya kita cukup menulisnya dengan nama sebutan “SBY”. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), *Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, SH, MH.” Apabila selanjutnya kita akan menuliskannya kembali, maka cukup ditulis nama panggilannya saja, “Yusril” . Hindari pula memberikan embel-embel dengan sebutan Bapak atau Ibu, karena kita tengah menulis berita bukan menulis teks pidato. Menulis berita itu harus singkat, padat, jelas serta tidak bertele-tele.
Lalu apa bedanya DR (HC), Dr, dan dr, itu? Bagaimana pula cara penulisannya yang benar. Seperti kita ketahui bersama bahwa gelar Doktor (DR) bukan gelar yang diraih dari hasil belajar di Perguruan Tinggi. Gelar Doktor Honoris Causa (HC) atau di singkat “DR” adalah gelar kehormatan karena seseorang telah mempunyai jasa atau keahlian di bidang tertentu yang manfaatnya sangat besar dan dirasakan oleh masyarakat luas. Sehingga seseorang diberikan gelar kehormatan “DR” atau gelar “Profesor”(Prof) yang merupakan gelar non akademik atau gelar kehormatan lantaran menemukan sesuatu atau bersifat inovatif dan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Sama halnya dengan gelar KH, Ustadz, dan gelar non akademik lainnya.
Sementara itu, apabila seseorang belajar di suatu Perguruan Tinggi dengan mengambil jenjang pendidikan S3 misalnya, maka setelah lulus berhak menyandang gelar akademik Doktor, maka jika disingkat harus ditulis dengan singkatan “Dr”. Sedangkan jika seseorang itu hanya kuliah di bidang kedokteran (S1) saja, maka setelah lulus kuliah seseorang berhak menyandang gelar dokter dan di singkat “dr”. Bukan ditulis dengan singkatan “Dr” (S3).
itulah bedanya antara gelar DR (HC), Dr dan dr. Sebab, jika seseorang bergelar Doktor (S3), akan tetapi wartawan menulisnya “dr” bukan “Dr” maka apa yang ditulisnya itu merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Apalagi jika nara sumbernya complain atau minta agar wartawan tersebut untuk segera meralatnya lantaran kesalahan wartawan dalam menulis berita yang dilakukannya.
Semoga ulasan yang singkat ini akan menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama di bidang jurnalistik. Sehingga para wartawan tidak mengulangi kesalahan lagi dalam menulis sebuah berita, essai, artikel/pumpunan, feature maupun jenis tulisan lainnya. Dalam menulis sebuah berita, wartawan juga harus mengikuti rumus 5W + 1H dan menggunakan bahasa Jurnalistik yang relevan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD).**