Peta Narasi Dakwah di Media Sosial

JAKARTA, Harianexpose.com

Ketua Komisi MUI Pusat. KH. Ahmad Zubaidi, mencemaskan kondisi dakwah dalam media sosial akhir-akhir ini semakin marak disuarakan. Pasalnya, semua orang memiliki hak untuk berpendapat yang sejauh ini tidak bisa dipastikan kebenaran dakwah yang mereka sampaikan.

Media sosial menjadi ladang pertarungan ideologi kelompok yang satu dan yang lain. “Dakwah di media sosial di satu sisi begitu semarak, ramai dan variatif. Namun, di sisi lain terkadang kita tidak tahu arahnya mau kemana sebenarnya,” tukas Kiai Zubaidi, dalam acara Halaqoh Dakwah Komisi Dakwah MUI di Aula MUI Pusat, belum lama berselang.

Kiai Zubaidi berpendapat masyarakat kita menjadikan media sosial sebagai rujukan utama dalam mencari sumber pengetahuan, utamanya dalam hal keagamaan. Kondisi itu dihadapkan dengan ketidaksiapan masyarakat dalam menyikapi informasi beragam dan lemahnya lembaga penyiaran sebagai alat kontrol untuk mengantisipasi hal itu.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) misalnya, kewenangan yang dimiliki belum sampai pada ranah mengatur media sosial yang berkembang dan hanya terbatas pada siaran radio maupun televisi yang dibawah kendalinya. Kondisi itu, menurut Kiai Zubaidi, menuntut kemandirian personal, baik dalam bersikap maupun mengidentifikasi konten yang tidak sesuai dengan kode etik penyiaran

Sehingga hadirnya Halaqoh Dakwah yang bertemakan “Memetakan Narasi Dakwah dalam Media Sosial” menjadi suatu pelatihan spesifik dalam membentuk sikap bijak dan arif dalam bermedia sosial. “Kita tentu yang bergerak di bidang dakwah ini harus bisa memberikan suatu intervensi kendati ini sesuatu yang barangkali masih berupa angan-angan. Karena memang saat ini dunia membawa perubahan yang begitu besar,” tandasnya

Menurut ia, Halaqoh Dakwah dengan hadirnya pakar media sosial, Ismail Fahmi dan Ketua MUI Bidang Dakwah, KH. Cholil Nafis, sebagai nara sumber, diharapkan bisa membekali kedisiplinan pribadi dan digital yakni, kemampuan mengidentifikasi dinamika isu dan narasi yang berkembang dengan pengetahuan yang objektif dan moderat, juga bisa melakukan usaha-usaha preventif dalam mencegah paham dan ideologi yang tidak bernafaskan media sosial.

Kendati di satu sisi, Kiai Zubaidi mengakui ada banyak kelemahan dari dakwah di media sosial, seperti psikologi bathin antara dai dan jamaah yang bertemu langsung di suatu majelis atau ikatan silaturrahim antara jamaah yang satu dengan yang lain, yang tentu keberadaannya membentuk pemahaman yang berbeda pula dalam memahami narasi keagamaan dewasa ini.

“Dialog itu membentuk pemahaman yang tertanam dalam diri kita yaitu adanya kebersamaan dan saling memahami tapi dunia medsos kita sekarang ada dunia yang memisahkan jarak secara fisik dan kadang-kadang itu membuat konten tersebut begitu liar,” katanya.

Wakil Ketua Komisi Infokom MUI, Ismail Fahmi, sekaligus penggiat media sosial menyatakan, berdasarkan social network analysis yang dilakukannya, posisi MUI dalam pemberitaan di media online cenderung mengarah positif. Sedangkan pada sosial media cenderung negatif. Jika dipersentasekan pemberitaan dari keduanya yaitu sebesar 43 persen negatif dan 42 persen positif.

Persentase tersebut jelas menempatkan MUI berada di tengah, tidak cenderung kanan maupun kiri. Jika pun terdapat narasi yang ingin membubarkan MUI, hal tersebut justeru akan mencerai-beraikan umat Islam. Disebabkan tidak ada lagi yang dapat menjembatani berbagai ormas Islam untuk menjalin forum komunikasi.

Pada riset yang sama, Ismail Fahmi menyatakan, terdapat tiga peta narasi yang berkembang di media sosial, yaitu mengenai narasi dakwah, polarisasi dan hal yang berkaitan dengan MUI.

Berkembangnya narasi-narasi tersebut di media sosial memiliki dampak besar khususnya bagi generasi Z dan generasi milenial yang umumnya aktif dalam berbagai platform digital. Jika salah langkah dalam mengambil jalan dakwah, justru akan beraikbat menjauhkan kedua generasi tersebut dari ajaran Islam.

“Pendekatan dakwah untuk generasi Z dan milenial tidak bisa dilakukan jika langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits. Karena daya kritis yang tinggi dan dominannya aktifitas mereka di sosial media, sehingga cenderung menyukai hal-hal yang instan serta mudah dipahami,” kilahnya

“Karenanya setelah mengetahui posisi MUI yang berada di tengah, kita wajib berkontribusi meramaikan sosial media dengan dakwah yang wasathi. Misalnya pada platform Youtube,” sambungnya.

Menurut Ismail, MUI memiliki banyak potensi meramaikan dakwah di sosial media. Hal ini disebabkan MUI merupakan tempat berkumpulnya para ulama, kiai dan para habaib yang ilmunya mumpuni.

Namun, keterbatasan Youtube yang handal dari MUI sendiri justeru yang menjadikan dakwah tersebut kurang menarik dan sulit menjangkau generasi milenial dan generasi Z.

“Kita tidak punya kemampuan untuk membuat video yang bagus atau Youtuber yang andal. Tapi itu bisa di atasi jika kita punya jaringan Youtuber yang profesional. Sebagaimana perusahaan Go-jek yang tidak memiliki armada resmi, namun menggunakan transportasi lain yang justru mampu menjadikan perusahaan itu besar,” ungkapnya

Lebih lanjut, dikarenakan memiliki seni tersendiri dalam berdakwah kepada generasi Z dan milenial, Ismail Fahmi merekomendasikan salah satu solusi yang bisa digunakan yaitu dengan mengajak mereka berkontribusi dalam berdakwah. Misalnya membuat video ceramah yang menarik untuk nantinya diupload pada platform Youtube.

Cara ini bisa dilakukan MUI yang sifatnya membentuk jaringan dan kolaborasi. Sehingga mampu mendukung pitensi yang dimiliki generasi Z dan milenial sekaligus berdakwah kepada mereka dengan membuat konten-konten positif.

“MUI dengan ajaran Islam yamg luasmya seperti Samudera, berupaya menjembatani semua ormas dan generasi. Sehingga dapat menjalin komunikasi dan silaturrahim satu dengan yang lain,” ujarnya.

PT. KORAN SINAR PAGI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top