Filosofi Lomba “Panjat Pinang”

Oleh : H. Akhmad Jajuli.

(Ketua Yayasan Deir An Nahyan Mesina/YDAM Serang dan Pengurus MUI Banten)

Orang Sunda menyebutnya “rebutan”. Tiangnya boleh juga terbuat dari pohon bambu , tapi mayoritas terbuat dari pohon Pinang (Jambe, Jebug). Hadiahnya sangat beragam mulai dari yang murah-murah (handuk, payung, kipas angin, dll) hingga yang mahal-mahal (kulkas, AC, dll). Pesertanya pasti anak-anak muda dan kaum pria : usia anak-anak hingga remaja — karena butuh tenaga dan stamina yang kuat. Tidak cocok untuk orang-orang yang sudah berusia tua.

Lomba Panjat Pinang itu terlihat ramai, meriah dan sangat menghibur. Kita bisa menyaksikan pola tingkah masing-masing anggota group (biasanya terdiri dari 4 – 5 orang) mulai dari kehebatan dan keunikan teknik dan taktik mereka untuk mencapai bagian puncak (yang ada hadiah-nya) — hingga yang lucu-lucu : wajahnya kotor oleh lumpur, pasir atau olie, atau celana yang melorot, dan sebagainya

Lomba jenis ini diduga telah ada sejak puluhan tahun silam. Saat saya masih sekolah di SD pun lomba panjat pinang ini telah ada. Bahkan, boleh jadi telah mulai ada beberapa tahun sejak lahirnya Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada zaman dulu pohon Pinang tumbuh subur dan terdapat di kampung-kampung. Adapun orang kota pasti memperoleh batang Pinang itu dengan cara membelinya dari orang kampung :. Harganya cukup bervariasi antara Rp 200 ribu hingga Rp.500 ribu. Padahal batang kelapa saja harganya hanya sekitar Rp 150 ribu-an. Sebagai pengganti batang Pinang, ada juga yang menggunakan pohon bambu besar — yang dibersihkan sedemikian rupa agar tidak mencelakai peserta Panjat Pinang itu.

Berbeda dengan lomba-lomba yang sudah lama marak seperti lomba makan kerupuk, lomba memasukkan kelereng (kaleci, gundu, kaneker) ke dalam botol dan lomba yang “ringan-ringan dan lucu-lucu lainnya” ternyata Lomba Panjat Pinang memiliki filosofi yang sangat baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu, lomba Panjat Pinang senantiasa di adakan menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai bagian dari cara mendidik masyarakat dan warga Bangsa Indonesia.

Sebagaimana tergambarkan dalam suasana lomba Panjat Pinang itu, maka terlihat masing-masing para peserta rela berlumuran lumpur, pasir dan olie demi timnya berhasil meraih puncak pohon Pinang itu. Mereka juga ikhlas dan rela pundaknya diinjak temannya dan sekaligus menahan berat beban tubuh beberapa temannya itu sambil terus memegangi pohon Pinang. Demi mencapai puncak pohon Pinang itu — demi meraih hadiah-hadiah itu.

Demikian pula selama ini rakyat (yang disimbolkan oleh peserta Panjat Pinang itu) senantiasa bersemangat, kompak, solid, bersatu mendukung para Pemimpinnya dalam rangka meraih cita-cita mulia dan tujuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (yang disimbolkan oleh hadiah-hadiah itu). Setelah sang Pemimpin mencapai “Puncak Kekuasaan” maka dia wajib “melemparkan”‘ segala hasil-hasil pembangunan itu untuk rakyatnya. Bukan hanya untuk dirinya, keluarganya dan kelompoknya sendiri. Sang Pemimpin wajib memajukan, memakmurkan dan mensejahterakan Rakyatnya secara Berkeadilan. Demikianlah tamsil dari acara Lomba Panjat Pinang itu.

Apabila masih ada Pejabat Publik yang hanya mendahulukan dirinya, keluarganya dan kelompoknya sendiri, maka sesekali ajaklah menonton acara Lomba Panjat Pinang dari awal hingga akhir — dari mulai peserta lomba mengatur formasi hingga mampu meraih seluruh hadiah yang telah di sediakan Panitia.

Selamat merayakan Peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77. Jayalah Bangsa dan Negeriku!

Dirgahayu (semoga panjang umur) Republik Indonesiaku! **

Www.Harianexpose.com @ 2020 "The News Online Portal Today"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top