Kedudukan Ijma’ di Bawah Hadits dan Hujjah Yang Qothi’
Oleh : Hamdan Suhaemi.
(Wakil Ketua PW GP Ansor Banten,
Ketua PW Rijalul Ansor Banten dsn
Sekretaris Komisi HAUB MUI Banten)
Ajaran Islam itu didasarkan pada Al-Quran dan Hadits. Semua jumhur ulama sepakat akan hal itu. Namun, untuk menyatukan hadits yang tercecer dari banyak perawi dan penerima matan hadits tentu agak sulit, akibat banyak penghafal wahyu, penerima hadits wafat di medan peperangan pasca wafatnya Rosulullah SAW. Dilatar belakangi itulah para sahabat utama baik yang dikenal dengan khulafaur rasyidin, ahli al-haramain, ahli al-mishrain dan al-syaikhoni telah melakukan ijma’ yaitu kesepakatan terkait keqothi’an al-Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam.
Pengertian Ijma’
Mari kita merujuk pengertian Ijma’ menurut Syaikh Abdul Qadir Audah yang tertulis dalam kitabnya at-Tasyri’ al-Jana’i al-Islami.
الاجماع هو اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة الرسول صلى الله عليه و سلم على حكم شرعي
Artinya :
Ijma’ itu kesepakatan semua mujtahid dari umat Islam dalam suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah S.a.w yang berkaitan dengan hukum syariat.
Dalam kitab al-Ta’rifat, Syaikh Syarif Ali al-Jurjani menjelaskan pengertian Ijma’ yaki :
الاجماع هو اتفاق المجتهدين من أمة محمد عليه الصلاة و السلام في عصر على أمر ديني
Artinya :
Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid dari umat Nabi Muhammad S.a.w dalam suatu masa tertentu tentang perkara agama.
Sementara Syaikh Zakaria al-Anshori al-Syafii dalam kitabnya Ghoyatu al-Wushuli, menjelaskan pengertian Ijma’, yaitu :
الاجماع وهو اتفاق مجتهدي الأمة بالقول أو الفعل أو التقرير بعد وفاة محمد صلى الله عليه وسلم في عصر على اي أمر كان من ديني و دنيوي و عقلي و لغوي
Artinya :
Ijma’ itu kesepakatan para mujtahid umat pada ucapan, perbuatan dan taqrir setelah wafatnya Nabi Muhammad S.a.w di masa tertentu, kesepakatan atas perkara agama, dunia, pemikiran dan pandangan.
Ijma’ itu Hujjah
Kenapa ijma’ jadi hujjah (dalil agama), bukankah itu tidak dari Allah SWT, dan Rassulnya. Bahkan itu datang dari sahabatnya, suatu kesepakatan dari beberapa sahabat yang terkategori mujtahid, Karena tidak semua sahabat Nabi adalah mujtahid. Kesepakatan dalam memastikan keqothi’an Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasarnya Islam, sebagai sumber hukum Islam, juga sebagai pandangan hidup manusia.
Kebanyakan ulama menguatkan ke-hujjah-an Ijma’ dengan dasarnya Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 115, yaitu :
وَمَنۡ يُّشَاقِقِ الرَّسُوۡلَ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَـهُ الۡهُدٰى وَ يَـتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيۡلِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصۡلِهٖ جَهَـنَّمَ ؕ وَسَآءَتۡ مَصِيۡرًا
Artinya :
Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali (Q.S. an-Nisa : 115).
Ke-hujjah-an Ijma’ juga didasarkan pada hadits Kanjeng Nabi Muhammad S.a.w yaitu.
إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة ، ويد الله مع الجماعة ومن شذ شذ إلى النار
Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak akan mempersatukan ummat-Ku (Ummat Muhammad) di atas kesesatan, Allah senantiasa melindungi kelompok mayoritas dan barang siapa memisahkan diri (dari umat mayoritas) maka ia akan terpisah jatuh ke neraka. ( Hadits riwayat Imam At-Tirmidzi ).
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abu-Dzarr Al-Ghifari bahwa Rasulullah telah bersabda :
اثنان خيـر من واحد وثلاث خيـر من اثنين وأربعة خيـر من ثلاثة فعليكم بالجماعة فإن الله عز وجل لن يجمع أمتي إلا على هدى
Artinya :
Dua orang akan lebih selamat dari jika orang itu sendirian, jumlah tiga orang itu lebih baik daripada dua orang dan juga jumlah empat orang itu lebih baik dari tiga orang, jadi tetaplah bersatu dengan al-Jama’ah, karena Allah tidak akan menyatukan ummatku kecuali di atas petunjuk dan juga kebenaran (Hadits riwayat Imam Ahmad).
Dalil-dalil qothi’ di atas untuk menguatkan posisi ijma’ sebagai hujjah (dalil), Karena permasalahan umat pasca wafatnya Rasulullah semakin membutuhkan tafshil dari ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah. Kendati demikian, tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa-apa yang Rasulullah telah ajarkan, Karena itu hanya bagi yang berkemampuan ijtihad.
Para Mujtahid dalam Ijma’
Merujuk pada kajian Ushul Fiqh, bahwa ijma’ yang paling kuat itu adalah ahli Madinah, Sahabat yang punya kemampuan ijtihadi dari warga Madinah atau ahli al-Madinah jauh lebih tsiqoh (dipercaya) karena kehidupan mereka lebih dekat dengan Rasulullah.
Berikutnya adalah ahli al-Haramain (sahabat Nabi yang ada di Mekkah dan Madinah). Kelompok sahabat yang punya kemampuan ijtihadi ini yang dianggap kuat dalam menjelaskan ajaran Islam. Sebab, kehidupan mereka begitu dekat dan mereka para penghafal Al-Qur’an dan perawi hadits.
Lalu ada dua sahabat Nabi yang paling terpercaya, yaitu Sayyidina Abi Bakar al-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khattab, Keduanya dikenal sebagai al-Syaikhoini. Dua sahabat utama Nabi, dengan kemampuan ijtihadinya menetapkan secara jelas, terperinci apa-apa yang Nabi telah ajarkan. Inilah yang kemudian kita sebut ijma’ itu.
Kemudian, ada juga kesepakatan Ahli al-Mishrain, ini adalah sahabat-sahabat Nabi yang tinggal di 2 kota yaitu Kuffah dan Bashrah yang juga memiliki kemampuan ijtihadi dalam menjelaskan ajaran Islam secara tafshil (terperinci).
Beberapa kesepakatan atau ittifaq para sahabat Nabi inilah yang kemudian dikenal dengan ijma’. Kenapa bisa jadi hujjah, kenapa bisa jadi sumber hukum Islam setelah al-Quran dan Hadits, itu karena mereka sahabat Nabi memiliki kemampuan ijtihadi yang komprehensif dan bijaksana dalam kesepakatan. Artinya, ketika menyepakati sesuatu yang sudah jelas, mereka para sahabat yang memiliki kemampuan ijtihadi tersebut cukup diam (sukuti), maka ijma’ yang berlandaskan diamnya atas sesuatu yang sudah jelas menurut madzhab Hanafi dan Maliki itu disebut ijma’ sukuti.
Berbeda halnya dengan madzhab Syafi’i dan Hambali, bahwa ijma’ yang digunakan sebagai hujjah cukup ijma’ shorih (kesepakatan atas apa yang sudah jelas dan tidak perlu dibahas lagi), ijma’ shorih ini yang bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil dalam beragama.
Karena hasil ijtihadi dan tanggung jawab dunia akhiratlah yang memposisikan Ijma’ sebagai hujjah. Intinya ijma’ dasar ketiga ketika di Al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan awal dan kedua dalam menjawab persoalan-persoalan di kemudian hari Li kulli azminah wal amkinah.