Teologi Politik dalam Perspektif Carl Schmitt

Oleh : Hamdan Suhaemi

(Pengurus MUI Proviani Banten).

Dasar Pemikiran

Menarik untuk dikaji ketika kita tengah mempersoalkan tentang kedaulatan dalam kekuasaan sebagai legitimasi politik. Maka fikiran kita mengarah pada satu karya pemikiran tentang itu, diantaranya kita memilih untuk membedah “ konstruksi “ pemikiran politik Carl Schmit yang tertuang dalam karya babon-nya Politische Theologie. Satu referensi pemikiran politik dunia di awal abad 20. Carl Schmit, pemikir yang tidak sekedar mencurahkan perhatiannya terhadap pragmatisme politik, melainkan terhadap sesuatu yang terlalu melampaui ruang lingkup observatif-empirik.

Hal yang biasa kita temukan sebagai sesuatu yang profan, namun ini sekali lagi mengarah pada hal yang sakral ( sacred ) dan bersifat relegius melampaui politik yang riil. Schmit terkadang memang mampu meng-infiltrasi gagasan politisnya ke sesuatu yang metafisis, dan agaknya bertentangan dengan akal sehat kita, betapa hal-hal yang biasa kita lakukan dalam upaya pembuktian sebagai manusia sosial ( zoon politicon ) justru Carl Schmit menarik terlampau jauh ke tengah-tengah perdebatan yang metafisis. Artinya di luar yang terjadi ia mengambil konsep ideal dalam memaknai kekuasan yaitu dengan mengenalkan “ kedaulatan “ atau “ souveranity “ yang bisa dicapai dalam keadaan darurat.

Teologi Politik

Paham awam saya ini menduga bahwa konsep Carl Schmit terlalu berani dalam upaya mendestruksi konsep bangunan negara hukum ( rechtstaat ) yang sudah berjalan sejak abad 18 yang telah mapan dibangun oleh para pemikir sebelumnya seperti John Locke, Montesquie, Diderot, dan Rosseau dengan mengambil momentum Aufklarung sebagai simbol situasi atas peneguhan paham negara hukum. Agust Comte dalam hal ini telah berjasa menciptakan nalar posistivisme dalam mengantarkan konesp negara hukum sebgaai kebutuhan final msyarakat Eropa modern hingga kini.

Dalam pandangan Carl Schmit antara negara dan politik ada identifikasi yang politis ( Das Politische ), apa itu? Yang politis tersebut terdapat dalam himpitan aturan kaku mekanisme yuridis yang justru mengkungkunginya. Masyarakat modern kini sangat disiplin menerapkan aturan bakunya dengan konstitusi berdasarkan negara hukum modern, terlapas apakah itu menafikan hal yang politis atau tidak. Sebab konsep metafisis dalam kerangka negara hukum tak lain dan tak bukan adalah “ kedaulatan “.

Maka Schmit menegaskan pandangannya bahwa persetan atas atauran kaku yuridiksi negara, karena justru yang politis adalah bagaimana menegakkan kedaulatan di atas keadaan darurat sebagai upaya menuju “ connectivity of god “ dalam mengatur dan memimpin negara, meski Schmit menolak juga terhadap konsep negara Teokrasi ( kedaulatan tertingga ada pada Tuhan ).

Maksud Schmit jelas bahwa “yang politis “itu dimaksud adalah kewenangan individu penguasa yang dilegitimasi oleh suatu keadaan darurat tanpa harus bersentuhan dengan izin Tuhan. Berkuasa secara totalitas terhadap suatu negara bersamaan pula dengan konsep bernegara dan mengatur negara ditarik seperti dua mata sisi uang, ia sebagai penguasa mutlak, ia pula sebagai wakil Tuhan di Bumi. Sementara rakyat yang dipimpin menjamin dan melegitimasi atas kekuasaanya tersebut.

Pedoman Kekuasaan

Pada konteks di atas jelas bahwa Schmit patut disebut sebagai Iblis kaum Republikan yang pro atas tegaknya negara hukum dengan landasan demokrasi, namun ia pun bisa dicap sebagai konseptor agung bagi para Diktator. Sebagaimana pendahulunya yang ia kagumi seperti Juan Donoso Cortes (1809 – 1853) sebagai pencetus ide kediktatoran berdasarkan doktrin Teologi Katolik. Dari itu Carl Schmit mengawali rumusan konsepsinya dalam karyanya dengan “mengalihkan ke yang halus“dalam balutan teologis.

Sebagai yang ingin menemukan arah kekuasaan maka konsepsi Carl Schmit terkait identifikasi yang politis dengan membenarkan kekuasan dipaksa ketika dalam keadaan darurat dengan dalih meneggakan kedaulatan atas memimipin negara. Apapun itu jelas mengangkangi kehendak rakyat sebagai pemilik sah atas suatu negeri yang mereka tinggali. Meski demikian menjadi suatu asas bagi legitimasi kekuasaan jika keadaan memang darurat. Peluang untuk melonggarkan terjadi pengalihan kekuasaan itulah yang dicari bagi karakter diktator.

Gagasan pembenaran atas nama kedaulatan kekuasaan seperti yang dijelaskan di atas secara nalar dan insting sama paralel-nya dengan kekuasaan yang direncanakan dengan konsep “sang penguasa“ ala Macheavelli yang cenderung dibenci namun semakin dicari. Antara keduanya meski beda zaman, konsepsi kedaulatan atas kekuasaan menjadi titik pijak untuk memasuki pintu kekuasaan absolut meskipun sistem menerapakan demokrasi. Bahkan ini pulalah menjadi “teologi“ kekuasaan yang bersifat multi-nasional, yang kini konsep tersebut dibajak oleh pengusung kekuasaan atas nama agama. **

Www.Harianexpose.com @ 2020 "The News Online Portal Today"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top