Oleh : BASUKI RAHMAT
(Kasi PPA IIB, Kanwil DJPb Banten)
Subsidi Bunga KUR : Solusi atau Masalah?
Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah salah satu program pemerintah untuk membantu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mendapatkan akses pembiayaan dengan bunga rendah. Pemerintah memberikan subsidi bunga KUR sebesar 3% kepada bank penyalur, sehingga bunga efektif yang dibebankan kepada debitur hanya 6%. Subsidi bunga KUR telah diberlakukan sejak tahun 2015 dan diperpanjang beberapa kali hingga Juni 2022.
Namun, apakah subsidi bunga KUR benar-benar efektif dan tepat sasaran? Apakah subsidi bunga KUR tidak menimbulkan distorsi dan moral hazard di pasar kredit? Apakah subsidi bunga KUR tidak mengorbankan kesehatan fiskal dan moneter negara? Kebijakan KUR mulai Tahun 2023 telah diubah untuk mengatasi masalah tersebut yang antara lain memperketat syarat pengajuan hanya boleh dilakukan calon debitur yang belum pernah mengakses kredit komersial dan pembatasan pemberian maksimal dua kali untuk selain sektor produktif dan pertanian & perikanan.
Manfaat Subsidi Bunga KUR
Subsidi bunga KUR yang diberikan pemerintah untuk membantu UMKM memberikan manfaat besar bagi perekonomian nasional. Subsidi bunga KUR dapat membantu UMKM untuk mendapatkan akses pembiayaan yang lebih mudah dan murah. Sehingga dapat meningkatkan modal kerja, investasi, produksi, dan omset usaha. Subsidi bunga KUR juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Subsidi bunga KUR merupakan salah satu stimulus yang efektif untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dan memulihkan sektor UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
Subsidi Bunga KUR Tak Meningkatkan Akses Pembiayaan UMKM
Salah satu tujuan dari subsidi bunga KUR adalah untuk meningkatkan akses pembiayaan UMKM yang selama ini sulit mendapatkan kredit dari perbankan karena berbagai kendala, seperti kurangnya jaminan, track record, dan laporan keuangan. Dengan subsidi bunga KUR, diharapkan UMKM bisa mendapatkan kredit dengan syarat yang lebih ringan dan bunga yang lebih murah.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa penyaluran kredit UMKM perbankan hanya tumbuh 1,9% pada tahun 2020, jauh di bawah pertumbuhan kredit keseluruhan yang mencapai 5,1%. Sementara itu, penyaluran KUR tumbuh 40% pada tahun 2020 dan mencapai Rp 278,71 triliun pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa subsidi bunga KUR tidak mampu mendorong penyaluran kredit UMKM secara umum, melainkan hanya mengalihkan permintaan kredit dari produk non-KUR ke produk KUR.
Selain itu, subsidi bunga KUR juga tidak mampu menjangkau UMKM yang benar-benar membutuhkan pembiayaan. Data OJK menunjukkan bahwa sekitar 80% debitur KUR adalah UMKM yang sudah memiliki hubungan dengan bank penyalur sebelumnya. Artinya, mereka bukanlah UMKM baru atau UMKM yang belum terlayani oleh perbankan. Dengan kata lain, subsidi bunga KUR tidak menambah inklusi keuangan UMKM, melainkan hanya memberikan fasilitas lebih murah kepada UMKM yang sudah terlayani.
Subsidi Bunga KUR Timbulkan Distorsi
Subsidi bunga KUR juga menimbulkan distorsi dan moral hazard di pasar kredit. Distorsi terjadi karena subsidi bunga KUR membuat harga kredit tidak mencerminkan biaya dan risiko yang sebenarnya. Subsidi bunga KUR membuat bank penyalur bisa memberikan kredit dengan bunga rendah tanpa mempertimbangkan risiko gagal bayar debitur. Hal ini bisa merugikan bank penyalur jika terjadi peningkatan NPL atau penurunan likuiditas.
Subsidi Bunga KUR mengorbankan kesehatan fiskal dan moneter negara.
Subsidi bunga KUR juga mengorbankan kesehatan fiskal dan moneter negara. Subsidi bunga KUR dapat membebani anggaran negara yang sudah defisit akibat pandemi Covid-19. Pada tahun 2022. Subsidi bunga KUR mencapai Rp 21,84 triliun, naik dari Rp 16,2 triliun pada tahun 2022. Jumlah ini setara dengan 0,14% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau 1,6% dari total belanja negara. Jika subsidi bunga KUR terus diberlakukan, maka akan semakin memperbesar defisit anggaran dan menambah beban utang negara.
Subsidi bunga KUR juga berpotensi menimbulkan tekanan inflasi dan depresiasi mata uang. Subsidi bunga KUR meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat tanpa diimbangi oleh peningkatan produksi dan ekspor. Hal ini bisa menyebabkan permintaan agregat melebihi kapasitas output, Sehingga menaikkan harga barang dan jasa. Selain itu, subsidi bunga KUR juga bisa menurunkan daya saing ekspor dan meningkatkan impor. Tak ayal, sehingga dapat memperburuk neraca pembayaran dan melemahkan nilai tukar rupiah.
Kebijakan KUR Tahun 2023
Kebijakan penyaluran KUR pada tahun 2023 uuai Permenko Terbaru Pemerintah telah menetapkan kebijakan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun 2023 sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat. Permenko ini mengatur beberapa hal penting terkait dengan penyaluran KUR, antara lain, Perubahan aturan bunga bertingkat KUR 2023 adalah sebagai berikut :
Untuk KUR Super Mikro dengan plafon maksimal Rp 10 juta, bunga tetap sebesar 3% per tahun atau 0,25% per bulan1. Sedangkan untuk KUR Mikro dengan plafon Rp 10 juta sampai Rp 100 juta, bunga sebesar 6% per tahun atau 0,5% per bulan1 untuk debitur yang baru pertama kali mengakses KUR Mikro.
Sementara itu, untuk debitur yang sudah mengakses KUR Mikro untuk kedua kalinya sampai keempat kalinya, bunga sebesar 7% per tahun atau 0,58% per bulan1.
Untuk KUR Kecil dengan plafon maksimal Rp 500 juta, bunga sebesar 6% per tahun atau 0,5% per bulan untuk debitur yang baru pertama kali mengakses KUR Kecil. Untuk debitur yang sudah mengakses KUR Kecil untuk kedua kalinya sampai keempat kalinya, bunga sebesar 9% per tahun atau 0,75% per bulan1.
Perubahan aturan bunga bertingkat ini akan berlaku mulai penyaluran berikutnya setelah 27 Januari 2023. Debitur yang sudah mendapatkan persetujuan kredit sebelum tanggal tersebut masih akan mendapatkan bunga sesuai dengan ketentuan sebelumnya. Selain itu syarat pemberian KUR juga diperketat dengan syarat belum pernah mendapatkan pembiayaan komersial. Harapannya KUR dapat lebih tepat sasaran.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) memiliki peran penting dalam pengelolaan Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan akses keuangan bagi pelaku usaha mikro. DJPb juga melakukan koordinasi, bimbingan teknis, supervisi, dan dukungan teknis kepada lembaga penyalur KUR, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR), untuk memastikan bahwa penyaluran KUR sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mengawasi kualitas portofolio KUR, dan menindaklanjuti permasalahan yang timbul.
Selain itu, DJPb melakukan monitoring dan evaluasi terhadap dampak dan manfaat KUR bagi penerima manfaat, serta mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya. DJPb juga melakukan konsolidasi data dan informasi terkait dengan KUR dari berbagai sumber, serta menyusun laporan keuangan pemerintah terkait dengan KUR.
Penyaluran KUR di Banten sampai dengan akhir bulan Mei 2023
Kanwil DJPb Provinsi Banten yang merupakan salah satu instansi vertikal DJPb memiliki tugas melakukan monitoring dan evaluasi KUR di Banten. Berdasarkan data sampai dengan 31 Mei 2023, KUR yang telah tersalurkan di Banten sebanyak Rp1,7 triliun yang disalurkan kepada 25.139 debitur. Angka tersebut turun dibandingkan periode yang sama Tahun 2022. Namun hal tersebut lebih disebabkan keterlambatan penetapan Permenko No. 1 Tahun 2023 dan Petunjuk Teknis yang mengatur KUR. Selanjutnya kebijakan tersebut mengakibatkan penyesuaian sistem diperbankan. Sehingga efektif perbankan baru melakukan penyaluran KUR akhir bulan Februari 2023. Selain memang adanya perubahan regulasi tentang debitur yang telah mendapatkan kredit komersil/modal kerja tidak dapat menerima kredit KUR, yang tahun sebelumnya tidak diatur.
Efektivitas Kebijakan KUR 2023
Kebijakan KUR yang baru berjalan 5 bulan tentu belum dapat dinilai keberhasilannya, namun demikian usaha pemerintah mengubah kebijakan agar subsidi bunga KUR dapat dirasakan masyarakat yang lebih luas dan yang benar-benar membutuhkan, seharusnya layak diapresiasi. *”