Oleh : M. Ishom El-Saha
(Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah UIN SMH Banten)
Syawal yang jatuh di urutan ke-10 bulan Hijriyah merupakan “Isim ghairi munsarif”. Ia juga menjadi pamungkas dari tiga nama bulan yang jatuh berurutan sebagai Isim ghairi munsarif”, yakni Syakban, Ramadan, dan Syawal.
Dalam gramatikal bahasa Arab, yang disebut Isim ghairi munsarif ialah kata benda yang tidak menerima diberi tanwin sharfi (hukum akhiran kata dibunyikan An, In, Un). Tanwin sharfi sendiri berfungsi sebagai penciri bahwa suatu benda itu memiliki identitas.
Oleh karenanya kata Syawal —termasuk Syakban dan Ramadan– yang tidak menerima tanda “identitas” itu cukup unik. Bukankah pada dasarnya semua ingin diakui, sampai memperebutkan identitas!? Bahkan ada politik identitas!
Syawal menjadi Isim ghairi munsarif adalah seruan untuk menyadarkan kita sebagai manusia yang merayakan Idul Fitri supaya tidak mengunggul-unggulkan identitas.
Sewaktu kita belajar ilmu Nahwu, kita diberikan pengetahuan bahwa Isim ghairi munsarif adalah suatu isim yang memiliki satu atau dua “illat”. Konsep illat dalam Nahwu berbeda dengan illat dalam usul fiqh. Dalam ilmu Nahwu illat adalah “aib atau penyakit” sedangkan dalam usul fiqh adalah “mind atau alasan pemikiran”.
Kita sering menggunakan identitas dengan dalih yang tidak tepat. Yaitu berdalih “illat” dalam arti “mind” padahal alasan sebenarnya adalah untuk menutupi aib dan kekurangan. Kita belum bisa terbuka dan berlaku jujur sebagaimana Syawal sebagai Isim ghairi munsarif yang rela tidak menerima tanwin sharfi karena memiliki kekurangan (illat).
Syawal mengajarkan kita tentang hidup “beloko suto” (Bahasa Jawa yang artinya apa adanya). Tak perlu tanda baca berlapis (An, In, Un) menjadi Syawalun, Syawalan, Syawalin, akan tetapi cukup dibaca Syawal(u), Syawal(a).
Manusia yang hidup secara apa adanya tak akan jatuh martabatnya. Orang yang mengakui kekurangannya akan tetap terhormat dipandang siapa saja. Seperti halnya Isim ghairi munsarif, sekalipun dalam rangkaian kalimat “ber-irab majrur” maka ia masih berharakat Fathah.
Oleh sebab itulah dalam momentum bulan Syawal, kita menjadi manusia “Isim ghairi munsarif”. Kita bukan makhluk sempurna tetapi manusia yang memiliki kekurangan di mana-mana. Mohon maaf lahir dan batin.