Oleh : HAIRUZAMAN
(Penulis Buku dan Praktisi Pers)
Eksistensi Dewan Pers belakangan ini termyata dinilai tak mampu dan dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya di alam kemerdekaan pers sekarang ini. Dewan Pers yang diharapkan oleh semua pihak mampu bertugas melindungi kemerdekaan pers dan sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan pers, ternyata tak bisa berperan sebagaimana mestinya. Sejauh ini Dewan Pers belum mampu mengayomi semua organisasi pers nasional. Bahkan, Dewan Pers disinyalir hanya milik organisasi pers yang menjadi konstituen saja.
Beberapa organisasi pers yang menjadi konstituen Dewan Pers itu antara lain, AJI, PWI, SPS, IJTI, SMSI, AMSI, JMSI, PFI, ATVSI, ATVLI dan PRSSNI. Padahal dari sebelas organisasi pers itu masih banyak puluhan organisasi pers lain yang dinilai eksis dan telah memenuhi persyaratan legalitas formal layaknya sebagai sebuah organisasi pers.
Namun, hingga saat ini eksistensi puluhan organisasi pers tersebut hanya dipandang sebelah mata oleh Dewan Pers. Sehingga tidak menjadi bagian dari konstituen Dewan Pers. Sampai disini, Dewan Pers ternyata tak mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan iklim kebebasan pers yang membuncah dan menjadi fenomena di era reformasi ini.
Dewan Pers tak ubahnya seperti institusi jilid kedua produk rezim Orde Baru. Termasuk hanya menghamburkan anggaran negara yang nilainya puluhan miliar rupiah. Tak lekang dari ingatan, Dewan Pers di masa rezim Orde Baru kala itu, tak mampu melindungi kehidupan pers. Sebut saja seperti fenomena kasus pembredelan yang terjadi pada tiga media cetak oleh rezim Orde Baru saat masih berkuasa. Ketiga media cetak itu antara lain, Majalah Tempo, Tabloid Detik dan Monitor. Bahkan bukan hanya Dewan Pers yang mendukung kebijakan Deppen untuk membredel tiga media cetak, termasuk PWI sebagai satu-satunya organisasi profesi, tak mampu mellndungi ketiga media cetak tersebut.
Tak ayal, sehingga kasus pembredelan ketiga media cetak itu menjadi cikal-bakal lahirnya organisasi pers lain di luar PWI yang dibidani oleh eks wartawan Majalah Tempo dengan nama Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pasca berdirinya AJI, hingga saat ini tercatat puluhan organisasi pers juga ikut bermunculan. Hal ini seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998-an. Sejak saat itu, pers nasional mulai menghirup udara kebebasannya pasca “dipasung” oleh rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Hal ini menjadi sejarah kelam bagi Pers Nasional.
Celakanya, Dewan Pers tak mampu menangkap munculnya euforia kebebasan pers di tanah air tersebut. Pasalnya, Dewan Pers tidak dengan serta merta mengakomodir begitu saja semua organisasi pers yang bermunculan. Sebab faktanya, tercatat hanya ada sebelas organisasi pers yang menjadi konstituen Dewan Pers. Entah apa yang yang menjadi agenda busuk Dewan Pers. Sehingga tidak merangkul semua organisasi pers dan hanya meng-anakemaskan- kesebelas konstituen saja. Tentu saja, hal ini bisa menjadi bom waktu yang suatu saat bakal menjadi preseden buruk.
Tak hanya itu, Dewan Pers juga pandai membungkus institusinya dengan berbagai aturan dan regulasi tanpa melibatkan aspirasi akar rumput (Grassroth). Tak pelak, akibatnya semua aturan dan regulasi yang dibuat oleh Dewam Pers dinilai sangat merugikan bagi puluhan organisasi pers yang ada diluar konstituen. Regulasi produk Dewan Pers sejatinya hanya mengikat bagi konstituennya saja dan tidak berlaku bagi organisasi pers lain di luar konstituen Dewan Pers.
Dengan demikian, sehingga layak kiranya berdiri Dewan Pers lain yang mampu mengayomi seluruh organisasi pers tersebut. Alternatif lainnya, sebaiknya Dewan Pers dibubarkan lantaran dinilai lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya bagi organisasi pers. Selain itu, selama ini Dewan Pers hanya menghamburkan anggaran negara yang nilainya begitu fantastis hingga mencapai puluhan mliiar rupiah. Namun, target pekerjaannya tidak jelas dan sama sekali tak terukur. Lalu, quo vadis Dewan Pers?. **