Oleh : Entang Sastraatmadja. (Ketua Harian DPD HKTI Jabar)
PADA jamannya ada yang mengartikan Penyuluhan Pertanian adalah sistem pendidikan non formal yang diberikan kepada para petani beserta keluarganya. Tujuan jangka pendeknya terjadi perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) ke arah yang lebih baik. Tujuan jangka panjangnya adalah mewujudkan kesejahteraan hidup yang lebih berkualutas bagi mereka.
Salah satu instrumen ilmiah yang selama ini dipakai untuk menilai kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP sendiri, merupakan salah satu indikator yang berguna untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Karena mengukur kemampuan produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani. Baik itu untuk proses produksi (usaha) maupun konsumsi rumah tangga petani.
Sebagai petugas Pemerintah (Penyuluh PNS), Penyuluh Pertanian telah diberi mandat untuk mensejahterakan petani. Hal ini wajar ditempuh. Sebab, tugas dan fungsi Penyuluh Pertanian yang utama adalah meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian. Penyuluh berkewajiban untuk menyampaikan inovasi yang dihasilkan oleh para peneliti.
Harapannya, kalau produksi dapat meningkat, maka kesejahteraan petaninya bakal ikut meningkat. Sayang, hal yang demikian belum dapat diwujudkan secara signifikan. Yang terjadi, produksi memang meningkat, namun kesejahteraan petani terekam masih jalan ditempat.
Kondisi ini, jelas tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kita harus berani mempertanyakan kepada para pengambil kebijakan, mengapa hal ini dapat terjadi ? Apakah paradigma yang digunakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman yang begitu cepat berubah ?
Apakah desain perencanaan yang dilakukan tidak pernah mempertimbangkan perubahan lingkungan strategis ? Bahkan, bagaimana pula hubungannya dengan pelaksanaan yang tidak nyambung dengan perencanaannya ?
Berbagai pertanyaan yang disampaikan ini, tentu saja perlu dijawab. Kita tidak boleh mengabaikannya. Penyuluh Pertanian tetap harus ajeg terhadap tugas dan fungsi yang dimandatkannya. Artinya, betapa kelirunya, bila Penyuluh Pertanian malah lebih dominan mengerjakan titipan proyek dari setiap Direktorat Jendral yang ada di Kementerian Pertanian.
Itu sebabnya, kesadaran para Penyuluh Pertanian untuk selalu menghayati apa-apa yang menjadi falsafah Penyuluhan Pertanian, menjadi kebutuhan mendasar kiprah Penyuluh Pertanian di lapangan.
Penyuluh Pertanian, selain sebagai guru, obor kehidupan dan “problem solver”, dirinya juga dituntut sebagai pembawa perubahan. Penyuluh Pertanian, harus selalu mengingatkan para petani, di era Milenial saat ini, seluruh komponen bangsa harus mampu merebut teknologi informasi yang terus berubah dan berkembang dengan cepat.
Penyuluh Pertanian tidak boleh tertinggal oleh semangat Pertanian 4.0 yang di dalamnya sarat dengan era digitalisasi. Penyuluh Pertanian perlu semakin akrab lagi dengan “cyber extension”. Tanpa hal ini, jangan harap dunia penyuluhan pertanian akan mampu mewujudkan tujuan mulianya.
Sudah puluhan tahun ini, ukuran untuk menilai kesejahteraan petani selalu menggunakan instrumen Nilai Tukar Petani (NTP). Terlepas dari pro kontra terhadap konsep NTP. Namun Pemerintah tetap memakainya. Bahkan banyak daerah yang menetapkan NTP sebagai salah satu indikator kinerja Kepala Daerah dalam menjalankan roda Pemerintahannya.
Masalahnya ialah apakah masih cukup tepat bila kesejahteraan petani diukur dengan menggunakan instrumen NTP ? Atau kita sudah memerlukan ukuran baru yang lebih sesuai dengan suasana kekinian ?
Hal semacam ini, mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi, tapi perlu segera dicarikan solusi cerdasnya. Apa tidak lebih baik, bila Badan Litbang Kementerian Pertanian bersama BP2SDM Kementerian Pertanian, secepatnya bersinergi dan berkolaborasi untuk merumuskan ukuran kesejahteraan petani yang lebih baik ketimbang NTP yang hingga kini banyak diragukan kesahihannya.
Badan Litbang dan BP2SDM dituntut untuk tampil menjadi “prime mover” dalam pencarian ukuran kesejahteraan petani ini. Mereka ditantang untuk mampu melahirkan indikator-indikator utama dalam penentuan konsep kesejahteraan petani. Berbagai temuan dan hasil-hasil penelitian yang selama ini dilakukan, diharapkan mampu merevitalisasi ukuran yang sekarang ini digunakan.
Akan lebih komplit bila para akademisi dari beragam Perguruan Tinggi pun dilibatkan dalam perumusannya. Kita berharap, kerja bareng para peneliti dan penyuluh pertanian yang ada di Kementerian Pertanian, dengan para akademisi di Perguruan Tinggi akan mampu memberi hasil yang optimal terhadap pencarian ukuran kesejahteraan petani.
Dilihat dari pemaknaan konsep Penyuluhan Pertanian sendiri, Penyuluh Pertanian, betul-betul memiliki tanggungjawab moral untuk mensejahterakan petani dan keluarganya. Hanya penting dipahami, tugas yang sangat mulia ini, tidaklah cukup hanya jadikan wacana semata, tanpa disertai dengan langkah-langkah nyata di lapangan. Akan tetapi, sangat dibutuhkan adanya tindakan politik guna mewujudkan cita-cita tersebut.