LEBAK, Harianexpose.com—
Adalah Siti Rochmah, terlahir sebagai anak gadis dari keluarga buruh tani di Kampung Nangklak, Desa Margatirta, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Wanita ini memiliki semangat kepedulian yang begitu tinggi dengan dunia pendidikan. Tak salah apabila menambatkan julukan bagi ibu dua anak ini sebagai “Kartini Margatirta” yang berjuang untuk mengentaskan kebodohan, kendati honor yang diterima tak lebih dari Rp 300 ribu/bulan.
Celakanya, honor sebesar itu pun diterimanya manakala orang tua murid membayar iuran bulanan sumbangan pendidikan.
“Saya bertekad dengan segala kemampuan agar anak-anak di Kampung Nangklak dan sekitarnya, dapat mengenyam dunia pendidikan agama dan pendidikan umum. Jangan sampai ada yang buta huruf. Pendidikan menuntut ilmu harus tetap berjalan dalam kondisi apa pun, sejak lahir sampai dengan akhir hayatnya,” kata Siti Rochmah, menuturkan kisah perjuangannya kepada awak media, Rabu (8/9/2021).
Kampung Nangklak, sekitar 25 Km apabila ditempuh dari Kota Rangkasbitung. Sekitar empat tahun silam masih menjadi kampung yang terisolir. Untuk menuju perkampungan ini cukup sulit, dan tidak bisa dijangkau kendaraan bermotor. Kehidupan warga di perkampungan ini pun tingkat perekonomiannya masih rendah.
Siti Rochmah, ketika menginjak pendidikan di Sekolah Dasar (SD), kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia pun menjadi anak yatim-piatu. Tapi, keinginan untuk terus belajar dan belajar tak pernah padam. Ia berhasil menamatkan pendidikan sampai di tingkat Strata Satu (S1) di STAIDA jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Kota Tangerang, Banten..
Menurut Siti Rochmah, perjuangan untuk mempertahankan agar bisa hidup dan bisa menuntut ilmu cukup panjang dan berliku. Bahkan, dinilai begitu melelahkan. Tapi sangat indah jika direnungkan sebagai kisah dari sebuah perjuangan.
Selesai menamatkan penidikan di SD Gumuruh tahun 1992, Siti Rochmah, merantau ke Kota Serang untuk menuntut ilmu di MTs dan Madrasah Aliyah.
Ia “kabur” dari rumah dan meninggalkan seorang adik, Subhan, untuk pergi mendatangi Haji Jujum, orang yang mengurus kakaknya di Kampung Ciburuy, Petir, Kabupaten Serang. Beruntung keluarga itu mau menerimanya, kendati di keluarga itu sudah ada kakak Siti.
“Saya menangkap sepintas raut muka bapak haji kaget saat saya datang. Mungkin lantaran saya anak yatim piatu, bapak itu tidak mengusir saya dan mau menerimanya. Saya pun bisa bersekolah sampai dengan tamat Aliyah,” kata Siti, sambil berkaca-kaca meneteskan air mata..
Saya berusaha menjadi anak yang baik dan patuh kepada orang yang mengurus saya. Ketika selesai mengikuti pelajaran di sekolah, saya berusaha membantu bapak dan ibu haji di kebun atau di sawah serta membantu pekerjaan lainnya. Keinginan saya tak muluk-muluk; tetap bisa mempertahankan hidup, bisa sekolah dan menjadi guru,”aku Siti.
Setelah lulus Madrasah Aliyah, Siti, merantau ke Kota Tangerang dan bekerja di sebuah pabrik. Dengan upah sebagai buruh, saya harus pandai mengatur waktu dan keuangan. Siang bekerja dan malam kuliah atau sebaliknya. Akhirnya pada tahun 2004 lulus Strata Satu (S1) jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di STAIDA Kota Tangerang.
Setelah menyelesaikan pendidikan S1, Siti ikut terlibat dalam pengembangan dunia pendidikan selama 13 tahun di Kota Tangerang dan sempat mengelola Taman Kanak-Kanak Qur’an (TKQ) dengan jumlah murid sebanyak 60 orang.
“Pada Tahun 2005, saya mengakhiri masa lajang dan menikah dengan Mahrus, pria rekan sekerja di sebuah pabrik dan kini sudah dikarunia dua orang anak. Suami saya masih kerja di pabrik di Tangerang dan pulang ke Nangklak setiap akhir pekan,” kata perempuan yang senang dengan travelling ini..
Pada tahun 2018, Siti, pulang ke Kampung Nangklak. Di kampungnya terdapat sebuah bangunan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang sudah tidak terurus, karena bubar. Kemudian, Siti, menemui Abah Enjen, seorang guru Sekolah Dasar (SD) dan menceritakan niatnya untuk mengelola pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dengan memanfaatkan gedung yang sudah rusak.
Dengan bantuan warga, akhirnya pada tahun 2019-2020 berdiri Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Raudhatul Atfal (RA) Nurul Falah. Sekarang murid MI sebanyak 13 orang dan murid RA ada 16 orang, yang berasal dari Kampung Nangklak dan Cibatung.
Karena, MI dan RA Nurul Falah, masih terdapat beberapa kekurangan persyaratan dalam pendirian lembaga pendidikan, statusnya masih menginduk ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) An-Nur, di Kampung Bahbul.
“Saya ingin menamankan pengertian kepada masyarakat bahwa pendidikan itu sangatlah penting. Baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Saya ingin melihat generasi penerus di Desa Margatirta bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tak ayal sehingga bisa membangun kampung dan desanya menjadi maju dan mandiri,” katanya.
Menurut ia, untuk biaya operasional pendidikan RA, sepenuhnya bergantung kepada sumbangan atau iuran pendidikan dari para orang tua murid sebesar Rp.30 ribu/bulan. Kalau orang tua murid bayar, saya dapat sekitar Rp 300 ribu/bulan. Tapi itu pun, habis juga untuk membeli peralatan sekolah. Sementara untuk MI sudah ada bantuan dari dana BOS.
Untuk memenuhi kebutuhan operasional pendidikan, sangat repot. Buku atau bahan bacaan, misalnya, saya sering minta kepada rekan-rekan di Tangerang dan para dermawan lainnya. Ada yang menyumbang buku-buku bekas dan saya terima dengan sangat senang, yang penting buku itu masih bisa di baca.
Kendati dalam keterbatasan, MI dan RA Nurul Falah yag dikelola Siti, sering mengikuti berbagai perlombaan sampai di tingkat kecamatan. Pernah beberapa kali menyabet juara nomor wahid.
Untuk kegatan tersebut, Siti, harus “memutar” otak dan berusaha “tebal muka”, meminta bantu rekan-rekan sesama buruh pabrik saat ia bekerja di Tangerang untuk biaya operasional lomba. Anak-anak MI Nurul Falah, sudah hafal 10 surat dalam Al-qur’an.
“Selama mengelola pendidikan di MI dan RA, Kepala Desa Margatirta, Mahfudin, pernah datang sekali sewaktu ikhtifalan (kenaikan kelas) dan menyumbang Rp.350 ribu. Saya berterima kasih sudah menyumbang,” tuturnya. (Hr/Red).