Oleh : Hamdan Suhaemi.
(Komisioner MUI Provinsi Banten).
Pondok Pesantren itu lembaga pendidikan agama Islam di Indonesia yang sudah ada bersamaan awal penyebaran Islam di Nusantara. Lembaga pendidikan non formal yang mempunyai coraknya tersendiri, karena berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Dalam segala hal terdapat kekhasannya yaitu, budaya Nusantara yang diprinsipi oleh ajaran dan ilmu agama.
Menurut Zamakhsari Dhofier, Pondok pesantren adalah lembaga sosial pendidikan agama Islam yang bersifat tradisional yang dipergunakan untuk mendidik dan mengajari para santri (orang yang tinggal di pesantren) sampai benar-benar menjadi manusia yang berakhlaq mulia.
Sedangkan Karel Steenbrink mendefinisikan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang murni milik masyarakat Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan.
Begitupun menurut pakar pendidikan Islam, Mastuhu, telah mengartikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang bersifat tradisional. Sehingga tergolong dalam pendidikan berbasis kearifan lokal.
Adapun menurut pandangan KH. Abdurrahman Wahid, pesantren adalah sub-kultur tersendiri dikarenakan ciri-ciri yang dimiliki pondok pesantren tidak ditemukan di tempat lain. Sehingga lembaga pemerintah perlu untuk mendorong dan bersinergi menyiapkan kesetaraan regulasi, kesetaraan program, dan kesetaraan anggaran, agar pesantren tidak melulu ketinggalan dengan lembaga negara lainnya.
Jika kita pahami etimologi pesantren di atas, jelas mengarah pada upaya pesantren bagaimana membentuk karakter anak didik yaitu, santri untuk menjadi pribadi yang lengkap mengenal ajaran Islam. Sekaligus ilmu agama secara komprehensif. Disamping mendidik akhlak, budi pekerti, dan kearifan lokal dimana pesantren bertempat. Kiai dan pesantrennya satu kesatuan institusi pendidikan keagamaan yang kait mengait.
Figur Kiai adalah pribadi yang detil mengetahui ilmu agama Islam, sikapnya didasari akhlakul karimah, tujuan hidupnya adalah ibadah dan manfaat untuk umat. Hubungan kemasyarakatan dan relasi dengan negara diprinsipi mabadi khairi ummat, terlaksananya maqoshidu al-syar’iyah.
Tidak ada keraguan mengenai figur Kiai yang istiqamah di jalan pembinaan umat, pengajaran agama. Karena hal itu sudah berjalan ratusan tahun sejak keberadaannya di negeri ini hingga sekarang. Dengan eksistensi dan konsisten pesantren serta kiainya itu, maka para orang tua begitu percaya. Karena kiai betul-betul bertanggung jawab dunia akhirat dalam mendidik santrinya. Bukan sekedar mengajar lalu dibiarkan sesukanya, tapi mendidik, membimbing dan membentuk karakter santrinya agar taat pada ajaran Islam.
Kemuliaan pesantren dan kiainya begitu melekat, saling berkaitan. Kemuliaan Kiai jelas mempengaruhi eksistensi pesantren dan keseluruhan pesantren dimanapun, kealiman dan moralitas kiai juga berpengaruh terhadap kepercayaan orang tua santri.
Beda halnya jika oknum Kiai pengasuh pesantren lalu kemudian berbuat keji, munkarat, sadis dan biadab, merugikan banyak orang justru orang tua santri akan berbalik arah, mencemo’oh, mengumpat, menghujat Bahkan bisa jadi anarkis. Lebih parahnya lagi merambat kepada sikap anti pesantren. Ini keadaan yang sangat berat bagi kalangan pesantren. Dimana mereka tengah istiqamah dalam pendidikan dan pengajaran agama Islam terhadap anak didiknya, akibat oknum-oknum bejat, oknum-oknum biadab, oknum-oknum berengsek yang dirasuki perilaku iblis, dan didasari pula “nafsu satho hewan ” hingga mencabuli santriah tanpa ampun, kendati sudah beristri dua dan tiga orang.
Tentu saya jadi ingat diktum ” homo homini lupus ” yang pertama kali diperkenalkan sastrawan Romawi, Titus Maccius Plautus (254-184 SM) dalam Asinaria. Plautus menuliskan, “Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit.” Manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi orang lain. Apa yang disampaikan Plautus itu tidak lain merupakan kritik keras terhadap perilaku manusia yang gemar memangsa sesamanya.
Watak dasar manusia kata G.W.F Hegel adalah keinginan menguasai yang lain dan dalam upaya menguasai itu, seseorang akan meniadakan dan bahkan menghacurkan yang lainnya.
Keadaan yang tergambar di atas, menjadi perhatian khusus bagi kalangan pesantren. Mulai dari kiai, ustadz, keluarga kiai, dan juga santri agar peristiwa-peristiwa kekerasan, kekejaman, pelecehan seksual, pencabulan dan pemerkosaan tidak terulang lagi, untuk keseluruhannya dimanapun pesantren itu berada.
Ketaatan, keikhlasan, jiwa besar, kesederhanaan dan kehati-hatian harus menjadi prinsip dan pakem dalam mengurus pesantren. Agar kecemasan para orang tua santri tidak sampai pada penolakan secara nasional atas dunia pesantren. Itu artinya pondasi negara telah tercerabut. **