Oleh : HAIRUZAMAN
(Editor In Chief Harianexpose.com)
Tak lama lagi perhelatan pemilihan kandidat Bupati dan Walikota di wilayah Provinsi.Banten, bakal digelar. Disepanjang ruas jalan protokol hingga perkampungan terpencil sekali pun saat ini kita disuguhi baliho bergambar kandidat Bupati maupun Walikota.
Baliho bergambar tersebut merupakan salah satu media komunikasi para kandidat Bupati maupun Walikota untuk menarik simpatik masyarakat pemilih. Tak pelak, terkadang beberapa baliho yang dipasang tersebut tak sesuai dengan aturan regulasi yang berlaku. Sehingga dinilai dapat menganggu ketertiban dan keindahan kota.
Para kandidat Bupati dan Walikota itu saling berlomba untuk menggaet hati para pemilih. Mereka berusaha untuk mendekati masyarakat pemilih dengan menyodorkan visi misi dan berbagai program pembangunan. Biasanya, pertemuan antara kandidat Bupati/Walikota itu dibungkus dengan kegiatan “sosialisasi”.
Celakanya, terkadang modal yang harus dikeluarkan oleh kandidat Bupati/Walikota itu bukan hanya sekadar ongkos politik saja. Akan tetapi, kadang mereka tak segan-segan untuk merogoh kantong guna membeli suara pemilih.
Praktik pragmatisme politik atau “money politic” (politik uang) itu terjadi sejak pemilihan dilakukan secara langsung. Dimana masyarakat secara langsung memilih calon pemimpinnya tanpa diwakili oleh pihak lain. Berbeda dengan sebelumnya, suara masyyarakat disalurkan oleh anggota dewan, baik itu oleh DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, maupun DPR-RI.
Namun, sekarang masyarakatlah yang harus menentukan pilihannya sendiri. Hal itu terjadi pasca diberlakukannya Undang-Undang Pemilu yang baru oleh pemerintah yang diharapkan akan lebih baik dari regulasi sebelumnya.
Regulasi baru iitu memang diharapkan dapat memperbaiki siatem Pemilu di Indonesia. Akan tetapi, ternyata pemilihan secara langsung juga masih banyak kekurangannya. Termasuk semakin maraknya praktik “money politic” atau pragmatisme politik.
Syahwat politik yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan dengan berbagai cara pun dilakukan. Mulai dengan mengumbar janji-janji hingga harus merogoh kantong dalam-dalam. Semua itu dilakukan guna mencapai tujuan untuk bisa duduk ldi singgasana kekuasaan.
Sejak regulasi pemilihan langsung diberlakukan oleh pemerintah, Pendidikan politik nyaris tak berjalan. Bahkan, sesama kandidat acapkali saling menjatuhkan. Mereka tidak lagi melakukan upaya pendidikan politik kepada masyarakat. Namun, dengan cara “black campaign” (kampanye hitam) agar masyarakat tidak menyukai rival politiknya.
Sejatinya, pendidikan politik itu dapat berjalan dengan baik, manakala para kandidat Bupati/Walikota tersebut segera menghentikan cara-cara kotor yang ditempuh dan dinilai melanggar regulasi yang ada. Sebab, sikap dan perilaku masyarakat itu tergantung dari kultur yang dibangun oleh pemimpinnya. Dan selama para kandidat Bupati maupun Walikota itu tidak mencoba membangun kultur pendidikan politik kepada masyarakat pemilih, maka hal itu akan tetap terjadi sampai kapan pun.
Partai politik yang memgusung para kandidat Bupati/Walikota pun tidak mampu mengikis kultur pragmatisne politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tak ayal, bahkan ada pula Partai Politik yang menggiring publik kepada situasi buruk seperti itu.
Sebagai konsekwensi logis dari situasi politik seperti itu, akhirnya masyarakat pun mengikuti arus situasi yang berjalan. Sehingga pada gilirannya terjebak dalam situasi dan kultur pragmatisme politik.
Bagaimana pun kultur pragmatisme politik yang tengah berkembang belakangan ini di tengah-tengah masyarakat sejatinya memang harus segera dihentikan. Sehingga kelak para pemimpin yang terpilih tidak terlibat dalan skandal KKN. Sebab, ongkos politik yang dibiayainya memang terlalu mahal. Sehingga tak heran apabila banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi.
Bila perlu pemerintah harus meninjau kembali regulasi Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia. Sebab, fakta dilapangan menyebutkan bahwa dengan adanya pemilihan langsung praktik pragmatisme politik semakin marak terjadi. Bahkan, praktik politik kotor seperti itu saat ini telah menjadi kultur di tengah-tengah masyarakat yang sulit untuk dihilangkan. Wallahu’alam bishowab.
Penulis ialah Tokoh Pers Banten dan Penulis Buku “Kamus Jurnalistik Kontemporer”.