Oleh : HAIRUZAMAN
(Penulis Buku dan Ptaktisi Pers)
Judul Buku : Jangan Pulang Jika Kamu Perempuan.
Penulis : Riyana Rizki.
Tahun Terbit : 2021
Jumlah Halaman : vi + 156 Halaman.
ISBN : 978-623-7284-62-8
Penerbit Buku : Mojok
Ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi untuk menuju ke sekolah. Perjalanan yang saya tempuh ke sekolah, menarik! menarik karena saya dan teman-teman harus melewati sebuah jalan, yang juga memiliki belokan ke sebuah tempat yang dikenal dengan sebutan “lokalisasi.”
Pada saat itu, definisi “lokalisasi” adalah tempat atau wilayah khusus untuk pekerja seks komersial (PSK). Saya dan beberapa orang sahabat pernah melihat dari kejauhan, dan tempat ini terisi dengan rumah-rumah kecil yang jumlahnya lumayan banyak.
Dulu, saya dan sahabat sering mengatakan jokes mengenai tempat ini. Kami sering mengamati wajah-wajah yang mampir atau berbelok ke tempat ini. Kebetulan, ada juga sebuah warung kopi di depan jalan masuk menuju tempat lokalisasi ini.
Sambil mengayuh sepeda, kami berharap, dapat mengenali satu atau beberapa wajah, dan kemudian menjadikannya bahan gunjingan. Ya, meskipun kami tidak pernah dapat mengidentifikasi satu pun wajah orang yang kami kenali.
Tempat lokalisasi itu menjadi semacam “zona hitam” pada masa itu. Cap negatif sudah pasti diberikan oleh siapapun, dan bahkan sudah menjadi hal yang biasa untuk menjadikan tempat ini sebagai bahan candaan.
Satu hal yang saya dan para sahabat lupakan pada saat itu, “kemanusiaan.” Kami lupa, ada manusia yang hidup dan tinggal di tempat yang kami label negatif. Ada manusia dengan segala kisahnya, yang berusaha untuk bertahan hidup di sana. Ada manusia yang harusnya kami perhatikan, kami pahami.
Ada perempuan yang sedang bertarung di sana. Perempuan. Kata yang menunjukkan identitas suatu jenis kelamin ini membawa saya pada banyak sekali permenungan. Ada rasa syukur, bangga, sedih, ironis dan banyak lagi perasaan-perasaan lainnya.
Dalam kurang lebih setahun ini, saya menenggelamkan diri dalam karya-karya yang diciptakan oleh tangan-tangan penuh keajaiban milik perempuan. Perempuan dengan segala keanggunan, kerapuhan dan sikap sensitifnya; kekayaan dan kekuatan yang menjadikan seorang perempuan sebagai seorang perempuan.
Riyana Rizki, adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menyuarakan hak-haknya sebagai seorang perempuan di dunia yang penuh warna ini. Bukan hanya untuk memerangi, tapi juga untuk menegaskan kembali batasan-batasan yang hilang, kabur dan tidak pada tempatnya.
Saya tenggelam dalam cerita-ceritanya, saya tenggelam dalam kata-kata yang mengandung makna. Saya dipaksa untuk melihat kenyataan yang selama ini saya hindari, tentang kemanusiaan, tentang nasib perempuan, tentang ketidakadilan, tentang pemaksaan dan masih banyak lagi.
Melalui beberapa buku yang saya konsumsi, saya merenungkan banyak hal! Saya berpikir tentang diri saya sendiri dengan lebih dalam. Saya bersyukur, dan berterima kasih serta merasa sangat beruntung karena saya adalah seorang perempuan. Saya bersyukur karena ditempatkan pada tubuh ini, tubuh seorang perempuan dengan segala keajaibannya.
Tulisan-tulisan dalam buku yang ditulis oleh Riyana Rizki adalah magic! Tertulis untuk dinikmati oleh orang-orang yang menyediakan diri mereka untuk menyelam lebih ke dalam, untuk melihat masalah tidak hanya lewat permukaannya saja. Tapi, jauh ke dalam, sampai pada titiknya. Sampai pada ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam sistem yang sudah mengakar dan menjalar seperti kanker, di masyarakat.
Menggunakan pendekatan paling umum dan bersahabat dalam masyarakat, yaitu cerita, Riyana Rizki ingin menggandeng lebih banyak orang untuk melihat kenyataan yang selama ini banyak ditutupi oleh tahayul dan kepercayaan-kepercayaan liar.
Sebagai pembaca, saya tertantang untuk melihat kembali, satu demi satu anggapan dan kepercayaan saya selama ini. Terutama dengan dongeng, cerita rakyat, dan kepercayaan yang ada di tatanan masyarakat kesukuan tempat saya tinggal. Saya tertantang untuk melihat kembali, dan bertanya, “Apa peran perempuan” di sana. Intuisi saya semakin dilatih untuk mengendus setiap bentuk perlakuan yang tidak adil, dan semana-mena seperti kisah “May” (Hal. 35) dan “Sudah kukatakan, Aku Timun Mas” (Hal.47).
Kisah “Sudah kukatakan, Aku Timun Mas” (Hal. 47) menjadi kisah yang membuka ingatan saya yang lalu, tentang “lokalisasi. ” Ada kehidupan, dan juga konflik yang sangat jauh dari bayangan saya. Ada kehidupan yang tidak terjamah oleh tangan-tangan orang yang menggunakan mulutnya untuk mengobral omongan penuh kebencian.
Setelah bertahan-tahun, wilayah lokalisasi di tempat saya masih ada. Terakhir saya dengar, wilayah ini masih dipertahankan ada, ada pengguna jasa yang masih sering ke sana. Kalau tentang keadaan para pekerja di dalamnya, saya tidak tahu. Tidak ada yang berbicara tentang itu, selama saya berada di sana. Semua orang, nampaknya sibuk dengan hidupnya masing-masing. **