Lebih Jauh Dengan Kesti TTKKDH

Oleh : Hairuzaman

(Editor In Chief Harianexpose. com)

Sejarah Kesti TTKKDH

Kesenian Tradisional (Kesti)  Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir (TTKKDH)  merupakan salah satu Pencak Silat yang lahir di Kota hujan Bogor,  Jawa Barat.

Kelahiran ilmu silat (selanjutnya di sebut penca) Tjimande di Tatar Sunda masih dilingkupi misteri. Hal ini terjadi karena informasi peristiwa tersebut nyaris tidak ada.

Artinya informasi kepastian waktu lahirnya tidak ada, yang ada adalah informasi-informasi yang bersifat oral history yang terdiri dari berbagai versi pula. Bahkan, yang menarik adalah di kalangan warga Tjimande (sebutan bagi mereka yang telah menjadi murid maupun para penerus aliran silat ini) sendiri terdapat perbedaan penafsiran tentang sosok pencipta aliran penca ini.

Akan tetapi, paling tidak Penulis akan mencoba menelusuri sejarah lahirnya Kesti TTKKDH berdasarkan data dan fakta yang tercecer dan belum pernah ada pihak yamg mencoba untuk merangkumnya sebagai sebuah tulisan. Sehingga menjadi sebuah rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Awalnya sosok Ayah Kahir atau Abah Kahir atau Embah Kohir adalah seorang laki-laki (sebagaimana umumnya pengertian jawara, jagoan, pendekar dan sebagainya yang cenderung memilih laki-laki sebagai gendernya) dan ada pula yang mengisahkan beliau adalah seorang wanita yang disebut Mbah Khaer.

Namun uniknya mereka semua menginduk kepada sang pencipta penca Tjimande yang telah dimakamkan di Tanah Sereal Kabupaten Bogor. Setidaknya pada penelitian ini ada 3 versi tentang awal mula lahirnya Tjimande. Adapun versi-versi tersebut adalah sebagai berikut :

I. Versi Gending Raspuzi (Pikiran Rakyat, 2002 : 17). Riwayat sebelum mendirikan sebuah Perguruan bernama Penca Tjimande, Ayah Kahir pernah tinggal dan mengajarkan ilmunya di kota Kabupaten Cianjur. Di kota ini pada tahun 1770 ia menikahi seorang wanita setempat dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Cianjur. Di kampung ini pula Ayah Kahir mengajarkan maenpo atau penca kepada para pemuda setempat.

Ketenarannya sebagai guru penca menyebabkan Bupati Cianjur, Aria Wiratanudatar IV atau Dalem Cikundul (1776-1813) memintanya untuk mengajarkan maenpo kepada putera-putera bupati, pegawai kabupaten dan para petugas keamanan. Tahun 1815, Ayah Kahir ke Bogor dan menetap di Kampung Tarikolot, Desa Cimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Di Bogor ini pula ia meninggal dunia pada tahun 1825.

II. Versi Ensiklopedi Sunda (2000 : 217). Abah Kohir adalah perintis dan penyebar Penca Tjimande di Tatar Sunda pada abad XVIII. Beliau dikabarkan berasal dari Kampung Talaga di Majalengka kemudian pindah dan bermukim di Kampung Kamurang, Desa Mande, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur.

Sebelum dikenal sebagai guru silat, Abah Kohir atau Embah Kohir terkenal sebagai ahli kebhatinan di kota Kabupaten Cianjur. Kepandaiannya bermain penca diketahui melalui adu laga dengan seorang Cina yang berasal dari Makao yang mahir beladiri Kuntao (salah satu jenis bela diri yang berasal dari dataran Tiongkok).

Dikisahkan bahwa pada suatu hari ada orang Cina yang melanggar ketertiban umum, maka ia kemudian ditangkap oleh petugas Kabupaten Cianjur. Dalam penangkapan itu, orang Cina tersebut melakukan perlawanan, melecehkan petugas dan menantang adu laga dengan siapa saja. Pada waktu itu petugas keamanan kewalahan dan tidak bisa berbuat banyak.

Abah Kohir atau Embah Kohir kemudian diminta oleh Bupati Cianjur untuk meladeni tantangan orang Cina tersebut sekaligus menangkapnya. Abah Kohir menyanggupi permintaan Bupati, maka dilakukanlah pertarungan di alun-alun kabupaten disaksikan oleh Bupati dan masyarakat kota Cianjur. Dalam pertarungan itu, Ayah Kohir dapat mengalahkan orang Cina tersebut dan menyerahkannya kepada Bupati.

Melihat keberhasilan itu, Bupati kemudian meminta Ayah Kohir untuk melatih penca para petugas keamanan Kabupaten Cianjur.

Dikisahkan selanjutnya, beberapa waktu kemudian (?) di Kabupaten Bogor sedang terjadi kerusuhan (?). Bupati Bogor (?) meminta kesediaan Ayah Kohir untuk membantu memadamkan dan menumpas perusuh. Atas persetujuan Bupati Cianjur, Ayah Kohir kemudian ke Bogor dan kerusuhan itu pun dapat dipadamkan. Atas keberhasilan ini beliau kemudian diminta mengajarkan penca kepada para petugas keamanan.

Selama di Bogor, Ayah Kohir atau Embah Kohir bermukim di kampung Tarikolot dekat Sungai Tjimande, di sana ia mengajarkan penca kepada masyarakat umum dan mendirikan Perguruan Tjimande.

Perguruan kemudian diserahkan kepada keturunannya (?) dan ilmu silat ini kemudian tersebar. Ayah Kohir kemudian pindah dari Kampung Tarikolot ke kota Kabupaten Bogor ke suatu tempat bernama Tanah Sereal dimana akhirnya beliau meninggal dunia di sana.

III. Versi Agus Suganda (wawancara tanggal 10 Juli 2002) mengungkapkan kisah penemuan jurus tersebut. Mbah Khaer (sebutan lain Ayah Kahir) pada suatu waktu di subuh hari hendak mencuci beras sekaligus berwudlu ke sebuah talang (saluran air) di sisi Sungai Cimende.

Ia berbekal sebuah boboko berisi beras (wadah tempat mencuci beras) dan sebuah lampu/pelita untuk menerangi perjalannya ke talang tersebut. Sesampai di dekat talang, ia melihat suatu pemandangan aneh yang baru pertama kali dilihatnya.

Di depannya sedang berlangsung pertarungan sengit 2 ekor hewan yaitu seekor harimau dengan seekor monyet. Dalam perlihatannya bagaimana pun harimau tersebut berusaha menekan sang monyet, tetapi selalu berhasil dielakkan, demikian pula sang harimau selalu berhasil menangkis serangan gencar sang monyet. Kedua binatang ini tidak menyadari bahwa tingkah laku mereka sedang diperhatikan dengan seksama oleh seorang manusia.

Hingga akhirnya pertarungan tersebut selesai tanpa menimbulkan luka berarti pada keduanya dan mereka kabur berlainan arah. Mbah Khaer segera mencuci berasnya dan setelah berwudlu ia cepat-cepat kembali ke rumah karena ia teringat bahwa suaminya selalu pulang pada pagi hari.

Dalam kisah ini Mbah Khaer diriwayatkan sebagai seorang wanita yang mempunyai tugas sebagaimana halnya seorang isteri yaitu mempersiapkan sarapan bagi suaminya. Sesampai di rumah ternyata sang suami telah menunggu dengan muka marah, dan tanpa bertanya apa-apa sang suami langsung menyerang isterinya.

Sang suami adalah salah seorang jawara dikampung tersebut yang pekerjaannya pergi malam pulang pagi, sering mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan sang istri adalah seorang santri dan ibu rumah tangga.

Mendapat serangan tiba-tiba dari suaminya, Mbah Khaer spontan berkelit mengikuti gerakan monyet yang dilihatnya bertarung tadi. Penasaran dengan serangannya yang gagal kembali sang suami menyerang dengan pukulan dan tendangan.

Mbah Khaer sambil menggendong boboko berisi beras terus berkelit menghindari serangan suaminya tanpa sekalipun membalas meskipun selalu ada kesempatan untuk itu. Apa yang dilihatnya di talang tadi ternyata memberi ilham baginya untuk menghindar dan menangkis serangan sang suami.

Sang suami akhirnya menghentikan serangannya karena kelelahan ditambah rasa penasaran akan kemampuan istrinya yang dapat dengan mudah menghindari semua serangan-serangannya. Padahal ia terkenal sebagai seorang jawara di tempat itu.

Akhirnya, ia mengaku takluk dan mengemukakan niat untuk mempelajari jurus-jurus tersebut kepada istrinya. Singkat cerita sang istri kemudian mengajarkan jurus-jurus tersebut dan sang suami adalah murid pertamanya.

Menurut Agus Suganda nama murid pertama Embah Khaer adalah Ayah Kholiah yang berarti juga adalah suaminya sendiri, nama ini terdapat dalam pertalekan Tjimande pada urutan kedua setelah nama Mbah Khaer. Dan peristiwa tersebut berlangsung di Kampung Tarikolot dekat Sungai Tjimande Kabupaten Bogor

Dari ketiga versi di atas, tidak satupun yang memberikan informasi tentang awal mula (secara absolut) lahirnya Penca Tjimande, meskipun ketiganya mendukung fakta bahwa Tjimande dilahirkan di Kampung Tarikolot Desa Tjimande Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.

Namun demikian, pada informasi dari versi Gending Raspuzi ada disebut angka tahun tentang perkawinan Ayah Kahir dengan wanita asal Cianjur yaitu tahun 1770 (Abad XVIII), kemudian Ayah Kahir pindah ke Kabupaten Bogor pada tahun 1815 dan mendirikan perguruan di Tjimande di sana dimana ia kemudian meninggal pada tahun 1825.

Hal Ini mengisyaratkan bahwa waktu lahir Perguruan (Sunda = Paguron) Penca Tjimande antara tahun 1815 sampai 1825, sehingga dapat ditarik suatu asumsi bahwa aliran penca Tjimande ditemukan dalam kurun waktu tersebut berdasarkan alasan bahwa sebuah karya selalu lahir dalam kurun waktu kehidupan penciptanya.

Sumber dari versi ketiga (Agus Suganda) juga tidak menyebut angka tahun bahkan kisahnya mengarah pada Oral History (penyampaian cerita/kisah dari mulut ke mulut) yang lebih bersifat dongeng dalam periwayatannya.

Namun, pada versi ini dapat dilihat pola penemuan jurus-jurus Tjimande dalam keadaan tidak disengaja. Dalam teori Antropologi seperti yang dikemukakan oleh Dixon yang dikutip oleh Prof. Harsojo (1982 : 177-178) bahwa tipe penemuan seperti di atas disebut gejala discovery, yaitu suatu proses pra penemuan yang memenuhi 3 hal yaitu kesempatan, pengamatan, penilaian dan penghayalan. Disamping itu harus ada pula keinginan dan ada kebutuhan.

Ketiga hal dalam gejala discovery ini terbentuk dalam kisah Mbah Khaer dalam menemukan jurus Tjimande, yaitu adanya kesempatan yang tidak disengaja melihat pertarungan seekor Harimau dengan seekor Kera. Dari pertarungan itu secara langsung (otomatis terjadi pengamatan) dimana Mbah Khaer terus memperhatikan pertarungan tersebut.

Dalam hal penilaian dan penghayalan, bahwa manusia dianugrahi memori untuk mengingat kejadian yang berkesan baginya, ini kemudian keluar tanpa disadari (hal pertarungan tersebut) ketika Mbah Khaer diserang oleh suaminya, dan pada saat inilah keinginan mengelak atau menghindari serangan dari suaminya menjadi unsur kebutuhan Mbah Khaer.

Penemuan discovery ini juga disebut penemuan secara kebetulan, dan memang penuturan Agus Suganda tentang kisah Tjimande berlangsung secara kebetulan, ini yang membedakannya dengan invention atau penemuan sebagai suatu hasil usaha yang sadar (Ibid : 177), sebab dari ketiga versi di atas tidak satu pun yang mengemukakan bahwa Ayah Kahir atau Abah Kohir atau Embah Kohir atau Mbah Khaer pernah berguru kepada suatu perguruan silat sebelumnya. Informasi dari Ensiklopedi Sunda bahwa Abah Kohir atau Embah Kohir sebelum dikenal sebagai guru penca, beliau adalah seorang ahli kebhatinan.

Dapat diinformasikan di sini bahwa untuk mengolah ilmu kebhatinan tidak diperlukan latihan silat. Bahkan dalam kisah-kisah penemuan ilmu-ilmu yang bersifat irrasional sering dilakukan sikap semedi (Jawa = tapa) dan olah nafas yang tidak memerlukan gerakan-gerakan silat.

Walaupun dimasa sekarang ada perguruan yang telah memadukan keduanya artinya dalam gerakan mengandung tenaga dalam atau tenaga inti. Tetapi untuk kasus Tjimande, penggunaan tenaga dalam menjadi bagian tersendiri yang berfungsi sebagai penunjang gerakan silat. Itupun tidak dimiliki oleh semua murid Tjimande tergantung pada kematangan dan kesiapan sang murid.

Meskipun keduanya berbeda dalam proses penemuannya, akan tetapi discovery dan invention memenuhi kriteria sebagai unsur-unsur kebudayaan yang pernah diketemukan untuk pertama kali dan dipergunakan untuk pertama kali di dalam masyarakat tertentu (Ibid:).

Dari ketiga versi di atas semuanya mengemukakan bahwa aliran silat (pencak) Tjimande ditemukan pertama kali dan dikembangkan oleh Ayah Kahir atau Abah Kohir atau Embah Kohir atau Mbah Khaer, dan berlangsung pertama kali di Tatar Sunda atau di Tanah Pasundan dalam hal ini Kampung Tarikolot, Desa Tjimande, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.

TTKKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir)

Dalam perkembangan aliran penca Tjimande yaitu setelah para murid menyelesaikan pendidikan di Bogor, mereka kemudian menyebar dan ada yang kembali ke daerah asal mereka masing-masing. Embah Buyah salah seorang murid Embah Main (dalam pertalekan berada di posisi 5 dan 6, tentang urutan ini lihat Bab IV) kemudian kembali ke Kampung Oteng di Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak, selanjutnya melakukan petualangan ke daerah Lampung. Peristiwa ini diperkirakan berlangsung dalam tahun 1948.

Embah Buya yang orang asli Kabupaten Lebak, sebelum berguru kepada Embah Main berprofesi sebagai pedagang tembakau yang menjual dagangannya ke Karawang. Di Karawang Embah Buya kemudian menikah dengan wanita Karawang bernama Asten yang juga adalah murid Tjimande Mbah Main atau dikalangan warga Tjimande (sebutan bagi murid Tjimande) disebut Ibu Asten (wawancara dengan Agus Suganda) atau Embah Dosol (wawancara dengan Bapak Husin dan Bapak Ahmad Fatoni).

Embah Buyah menerima pendidikan penca Tjimande dari Embah Main yang mendirikan pusat pelatihan di kebun jeruk beliau di sebelah hilir, dimana Embah Main memiliki 2 buah kebun jeruk satu di girang satunya di hilir. Sebutan girang dan hilir merujuk pada posisi suatu tempat yang berada pada posisi di atas dan di bawah. Jadi kebun jeruk hilir adalah menunjukkan letak kebun tersebut di posisi lebih rendah dari kebun jeruk lainnya.

Embah Buyah menerima edukasi penca Tjimande dari Embah Utama yang menegakkan pusat pelatihan di kebun jeruk beliau di sebelah hilir, di mana Embah Main memiliki 2 buah kebun jeruk satu di girang satunya di hilir. Sebutan girang dan hiliruskan pada posisi sebuah tempat yang berada pada posisi di atas dan di bawah. Jadi kebun jeruk hilir itu menampilkan tempat kebun itu di posisi lebih rendah dari kebun jeruk lainnya.

Embah Buyah lantas lanjut pengembangan penca Cimande di Lampung dengan membuka pagelaran yang menerima murid khusus orang-orang Jawa. Penerimaan siswa dari generasi orang Jawa dilatarbelakangiut yang dituturkan oleh Agus Suganda bahwa sebuah waktu ada orang Melayu Lampung berniat berguru untuk beliau, ternyata lantas si orang Melayu itu melulu ingin menerjemahkan keterampilan Embah Buyah.

Embah Buyah tidak menyenangi urusan tersebut lamanya beliau lantas mengusir orang itu bahkan lantas beliau mengaku tidak bakal mau menerima orangutan Melayu yang berasal dari Lampung.

Paguron Cimande Embah Buyah di Lampung lantas diberi nama Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir.

Doa Embah Buyah memberi nama paguronnya didasari tanda bakti beliau untuk pendiri dan guru penca beliau, dimana pemain pencetak Tjimande itu Embah Khaer menemukan ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai Tjimande, lantas penamaan Kebon Djeruk Hilir membesarkan nama lokasi Embah Buyah menerima ilmu penca Tjimande dari Embah Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah sebuah aturan hukum yang sifatnya mengikat untuk seluruh penduduk TTKKDH yang dinamakan pertalekan Tjimande (tentang pertalekan ini, lihat Bab IV). Tujuannya adalah sebagai pengarah tertulisuntuk murid sekaligus menjaga nama baik untuk TTKKDH tersebut sendiri. Pada tahun 1953, Embah Buyah pulang ke Kampung Oteng dan menegakkan Paguron TTKKDH di Sanasan.

Kendati tidak mendapatkan informasi kapan Embah Buyah meninggal dunia, tetapi TTKKDH terus berkembang sepeninggal beliau. Murid-muridnya dari pertemuan tradisi dan paguan TTKKDH dan semenjak pergilah oleh Embah Ranggawulung nama TTKKDH Unggul hingga kini pada perguruan silat Tjimande ini.

Sumber lain menyerahkan informasi tentang TTKKDH adalah bahwa penamaan Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir berisi maksud semacam falsafah untuk setiap penduduk Tjimande.

Tjimande berisi 2 kualitas yaitu kata Tji dalam bahasa Sunda arti air dan mande means suci.

Tari dikonotasikan dengan tanya pertanyaan.

Kolot berisi arti sesepuh atau orang yang dituakan ada pun yang menunjukkan sebagai kata kesti atau membiasakan kebenaran.

Kebon ialah suatu lahan activities untuk review menemukan hasil temuan yang halal atau bermakna wadah untuk review menjangkau keselamatan.

Djeruk ditembus sesuai format dan rasa yaitu format besar berarti manis, bulat berarti dalam satu wadah, dan kulit yang terasa pahit ditunjukkan sebagai barang yang tidak bermanfaat.

Hilir berisi arti harus tidak jarang kali merendahkan hati tidak congkak dan mengalah guna menang, hilir yang berposisi di bawah atau dititkan sebagai lokasi menyimpan apa saja lantas menyaring dan memungut yang bermanfaat.

Hilir pun juga ditunjukkan masalah dengan musyawarah (Wawancara dengan A. Ridwan, tanggal 11 Juli 2002). Dari uraian di atas, maka Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir secara luas memiliki pengertian:

“Dalam kehidupan selalulah berjuang get sesuatu dari activities yang halal, Dan andai menghadapi sebuah masalah selesaikan dengan musyawarah atau meminta tuntunan ditunjukan kepada sesepuh atau orangutan yang memahami permasalahan itu serta seyogyanya untuk review tidak Jarang kali bantu-membantu (gotong royong) dalam mengemban kepentingan bersama. Pengertian di atas penanaman TTKKDH sebagai perangkat pemersatu dengan tujuan utama (lihat pertalekan Bab IV) menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan pribadi dan masyarakat”.

TTKKDH pun memiliki karakteristik lain yakni adanya prinsip “Jika terpegang, Andari memegang”. Paguron Tjimande lainnya (disebut Tjimande Girang) memilki prinsip lain yaitu “bila terpegang menyerang”.

Prinsip TTKKDH lainnya ialah di setiap pelajaran selalu terdapat nyala lampu (pelita), Penyanyi dijadikan kriteria pelatihan yang pun mengikuti tindakan Embah Khaer Saat besarbesaran pegi Ke Tepi sungai Tjimande. Oleh sebab itu, mula latihan Tjimande untuk murid baru selalu dibuka pada hari-hari tertentu Kamis malam.

Jurus-jurus Pencak Tjimande dan TTKKDH

Dalam riwayat lahirnya Penca Tjimande diceritakan bahwa Embah Khaer mengadopsi gerakan tarung dua ekor hewan yaitu Harimau dan Kera. Berdasarkan keterangan dari penuturan Agus Suganda, pada mula Pelatihan atau sebelum terbentuknya TTKKDH belum menemukan istilah jurus-jurus Tjimande, bahkan paguron resmi memiliki nama Tjimande juga belum ada, yang ada adalah jurus pamacan dan pamonyet itu pengembangan gerakan teknik serang-elak (istilah Agus Suganda timpa-buang) yang berasal dari tingkah kedua hewan tersebut.

Setelah terjadi pertumbuhan yaitu lingkaran masyarakat menerima penca Tjimande ini, terjadilah persebaran ke semua Jawa Barat dan Banten, lantas menyebar ke semua Indonesia. Dari segi teknik, jurus-jurus Tjimande mengandung yang terasa baik berupa peningkatan atau perampingan, tetapi demikianlahwa yang tidak sampai menghilangkan hakikat jurus dalam Tjimande.

Gending Raspuzi menyampaikan penggunaan umum pola Penca Tjimande memakai sistem perkelahian jarak jauh, yaitu memungut jarak sepanjang tahapan kaki dan kenyamanan ujung tangan dari lawan. Kegunaannya adalah menghindari serangan lawan.

Sesuatu yang berbeda Penca Tjimande terdiri dari buang kelid, teknik pepedangan, dan tepak selancar (PR, Loc.Cit). Jurus buang kelid merupakan kelompok teknik pertahanan yang dilanjutkan dengan serangan, maksudnya adalah mungkin murid bisa menguasai beberapa teknik yang menjadi dasar pengembangan naluri insan untuk penyuluhan diri.

Pepedangan yaitu pelajaran pemakai sebuah senjata dengan using sepotong bambu berukuran ± 40 cm atau dicocokkan dengan pemakainya. Maksudnya ialah selain guna belajar menguasai berbagai jenis senjata pun melatih kelincahan kesemek hearts melangkah maupun evolusi posisi kuda-kuda.

Adapun tepak Selancar ialah aspek seni hearts Penca Tjimande yang berupa Ibing atau tarian yang dipungut dari sejumlah jurus Buang kelid (Ibid). Adapun Tepak Selancar Penyanyi ialah bahwa Penca Tjimande tidak semata-mata mengajarkan ilmu bela diri, tetapi juga sekaligus menunjukkan aspek keindahan sebuah seni bela diri melewati pertunjukan Tarian Tjimande.

Pada TTKKDH, jurus-jurus Tjimande membentuk secara berurut dengan jumlah gerak teknik 19 buah dan 1 teknik tanpa gerak atau “rahasia” atau aya wenangan (Agus Suganda). Diantara kesembilan belas teknik TTKKDH tersebut adalah Kelid Gede, Kelid Leutik, Po Jero, Po Luar, Selut, Timpa Sebelah, Gojrok, Getrak Luhur, Getrak Handap, Kepretan, dan Guntingan.

Menggunakan teknik ke dua puluh atau teknik rahasia itu yang disebut sebab-sebab sifatnya lebih mengarah ke aspek kerohanian yaitu kematangan seorang siswa Tjimande memimpin ia dapat mengendalikan diri atau memiliki sifat seperti padi.

Artinya teknik terakhir ini dibalikkan kepada sang siswa sendiri untuk mencapai dan mengolahnya, sepanjang tidak berlawanan dengan Talek Tjimande.

Demikian lah tidak banyak sejarah singkat TTKKDH atau yang biasa anda kenal Tjimande, mudah-mudahan dapat menambah wawasan anda semua.

 

PT. KORAN SINAR PAGI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top