Pengurus ICMI Orwil Banten/ASN Pemprov Banten)
Suatu hari di siang bolong, Nabi Daud kedatangan Izrail, malaikat pencabut nyawa. Ketika itu, Nabi Daud sedang asyik ngobrol dengan seorang sahabatnya.
Kepada Daud, sahabat yang masih muda dan gemar sedekah itu mengaku akan menikah minggu depan. Betapa gembira hati Daud mendengar berita tersebut.
Ketika asyik ngobrol itulah, Daud kedatangan Izrail. Tentu saja, dari dua lelaki itu yang bisa melihat kedatangan Izrail hanya Daud.
“Ada keperluan apa? Hanya bertamu atau mau mencabut nyawa seseorang?” tanya Daud kepada Izrail.
“Daud, siapakah anak muda di sampingmu ini?” kata Izrail, balik bertanya.
“Dia sahabatku. Dia pemuda yang soleh dan suka menolong. Minggu depan dia akan menikah,” kata Daud, menjelaskan.
“Ketahuilah Daud, usia temanmu ini tinggal satu minggu lagi,” kata Izrail singkat.
Muka Daud berubah pucat, badannya gemetar. Meski sangat ingin memberi tahu kabar dari Izrail itu kepada temannya, namun Daud menahan dengan hati dan pikiran tak karuan.
Waktu terus berjalan. Hari ke enam berlalu, namun anak muda itu masih gagah bahkan wajahnya semakin cerah karena segera menikah. Daud bertanya-tanya dalam hati, apa kemungkinan Izrail salah? Ketika sedang berpikir demikian, datanglah Izrail. Tanpa basa-basi, Daud langsung membrondong Izrail dengan pertanyaan,
“Katanya, usia sahabat baik saya itu tinggal enam hari. Kok sampai sekarang masih segar bugar,” kata Daud.
“Saya diperintah Allah untuk menunda mencabut nyawanya,” kata Izrail.
“Kok bisa. Bagaimana ceritanya,” tanya Daud, penasaran.
“Pagi-pagi sekali, temanmu mendatangi sebuah rumah yang di dalamnya menampung anak-anak yatim. Itu terjadi sehari sebelum batas usianya tiba. Di rumah itu, ia menyerahkan bantuan untuk anak-anak yatim.
Melihat banyak makanan, anak-anak yatim sangat gembira. Wajah mereka cerah, karena perut mereka bakal terisi makanan. Beberapa dari mereka melompat-lompat kegirangan. Sementara sang ibu pengasuh tak henti-hentinya berucap terima kasih.
Ketika pemuda itu pamit pulang, ibu pengasuh berkata ‘Ya Allah, panjangkanlah usia anak muda ini. Jadikanlah ia teman duduk Nabi Muhammad SAW di Surga’. Lalu, anak-anak yatim yang mengerumuninya berucap, ‘amin’.
Ketika sampai harinya aku mau mencabut nyawa, kata Izrail, turunlah perintah dari Allah agar aku tidak mencabut nyawa anak muda itu sebelum ada perintah dari-Nya.
Lalu Izrail memandang Daud, ‘Itulah sebanya mengapa hingga saat ini anak muda itu belum saya cabut nyawanya”, kata Izrail menjelaskan panjang lebar.
Dari sejarah kita mengetahui, Nabi Muhammad dilahirkan dalam keadaan yatim. Sebelum beliau dilahirkan, ayahnya yang bernama Abdullah bin Abdul Muththalib meninggal. Beliau dimakamkan di Desa Abwa’, dekat Madinah.
Ketka Muhammad berusia 6 tahun tahun, ibu beliau yakni Siti Aminah juga meninggal. Muhammad kemudian dipungut datuknya, Abdul Muththalib. Namun, baru tiga tahun, beliau pun meninggal. Akhirnya, Muhammad diasuh pamannya, Abu Thalib sampai beliau menjadi nabi.
Mengupas soal kehidupan dan penghidupan anak yatim memang tidak akan ada habis-habisnya. Persoalan anak yatim adalah persoalan kita. Siapapun kita, apapun status kita, bagaimana pun strata ekonomi kita, tetap terkena kewajiban memperhatikan dan menggembirakan anak yatim. Tak seorang pun dari kita bisa lepas dari kewajiban itu. Bahkan, jika kita pengangguran dan merasa paling miskin sekalipun, tetap tidak boleh memalingkan muka dari anak yatim.
Konon, Rasulullah SAW adalah contoh manusia yang paling besar memberikan perhatian kepada anak yatim. Saking bersarnya perhatian kepada anak yatim, beliau pernah bersabda, “Barang siapa yang memelihara tiga anak yatim, dia seperti orang yang selalu shalat malam, selalu berpuasa, dan selalu bersiap untuk berperang dalam jalan Allah. Aku dan dia akan masuk sorga seperti dua saudara, sebagaimana dua jari ini. Nabi lalu menyatukan dua jarinya, yaitu petunjuk dan jari tengah.” (H.R.Ibn Majah).
Setiap anggota masyarakat harus memiliki komitmen kecintaan kepada anak yatim. Komitmen tersebut hendaknya diberikan secara terus-menerus, tidak hanya pada momentum tertentu. Yang paling perlu diperhatikan dari anak yatim, antara lain soal pendidikan mereka. Jangan sampai anak yatim telantar dan tidak mengenyam pendidikan.
Dengan kata lain, memberi perhatian kepada anak yatim sepatutnya tidak berhenti dengan hanya memberi makanan, Akan tetapi, juga menyiapkan jalan terang bagi mereka untuk menyongsong masa depan.
Memang, perhatian terhadap anak yatim seharusnya berawal dari keluarga terdekat. Kalau keluarga terdekat tidak mampu, tentu ini tanggung jawab pemerintah. Akan tetapi melihat pahalanya yang begitu besar dan kemuliaan yang didapat karena menyayangi dan memperhatikan anak yatim, tanggungjawab ini sepatutnya menjadi milik semua orang.
Seluruh muslim harus ikut berburu pahala mengurus yatim, sebab jaminannya surga dan dekat dengan Rasulullah SAW di surga.
Seperti dituturkan K.H. Ahsin Sakho Muhammad, kepedulian kepada anak yatim mempunyai arti dan nilai yang demikian besar. Pertama, menjadikan kita mempunyai kepekaan kepada orang lain yang tidak beruntung.
Kedua, jika anak yatim menjadi dewasa dan bisa berdiri sendiri dan dia pada akhirnya bisa menjadi manusia yang terhormat, maka betapa besar jasa mereka yang ikut membesarkan anak yatim tersebut.
Mereka yang terlibat dalam membesarkan anak yatim akan selalu mendapatkan pahala dari semua kebaikan yang dilakukan anak yatim tersebut. Karena merekalah yang menjadi penyebab anak yatim tersebut menjadi pintar dan dewasa.
Ketiga, anak yatim juga adalah anak manusia. Kepedulian kepada anak yatim adalah kepedulian kepada kemanusiaan. Sebuah kepedulian yang bersifat universal dan mulia. Keempat, mereka yang sering menolong orang lain, akan diberikan pertolongan oleh Allah diwaktu mereka dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Sebagai penutup, baiknya kita renungi hadis berikut: “Sesungguhnya, seorang laki-laki mengeluh kepada Nabi SAW karena hatinya yang keras. Nabi SAW bersabda, ‘Usaplah kepala yatim, dan berilah makan orang miskin’. (HR. Ahmad).
Saking besarnya pahala mengurus yatim, konon ada 142 hadits pada 42 kitab hadits yang membahasa tentang yatim. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan “rumah yang paling baik ialah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan.