Oleh : Hamdan Suhaemi
(Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan
Ketua PW Rijalul Ansor Banten)
Tempat Kelahiran
Petir di tahun 1920 merupakan salah satu daerah di Kawedanan Pamarayan. Pamarayan bagian dari Regenschaft Serang Karesidenan Banten. Sejak 19 Agustus 1816 dilakukan serah terima kekuasaan dari pemerintah Inggris yang diwakili Thomas Rafles kepada Belanda di Batavia maka kekuasaan dipegang kembali oleh pemerintah kolonial Belanda, kemudian wilayah Banten direorganisasi kembali sesuai dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1 Staatsblad Nomor 81 tanggal 2 Desember 1828 wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 kabupaten yaitu: Regenschaft Serang, Regenschaft Caringin, Regenschaft Lebak, dan Pamarayan termasuk dalam Kawedanan dari Regenschaft Serang.
Kini Petir, adalah daerah kecamatan di Kabupaten Serang yang secara geografis dekat dengan Warung Gunung Kabupaten Lebak, dan kebanyakan bahasa sehari-harinya adalah Sunda Lebak, sedikit Jawa Serang.
Riwayat Kelahiran
KH. Abdul Kabir lahir di Kampung Kadu Genep Desa Kadu Genep, Petir Kawedanan Pamarayan dari ibu Hj. Kanah binti Jarman dan ayah H. Marjuk bin H. Madi pada tahun 1916 M. Waktu beliau dilahirkan beliau diberi nama oleh orangtuanya adalah Jaya Sunawiri.
Jaya Sunawiri sering dipanggil oleh teman-temannya dengan nama Sunajaya atau Dul Jaya. Menurut informasi dari salah satu muridnya ( KH. Muhammad Noer ) nama Abdul Kabir adalah pemberian langsung gurunya yaitu Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari, dengan harapan kelak di kemudian hari Jaya Sunawiri menjadi orang besar atau ulama besar yang berpengaruh.
Sebelum lahirnya Abdul Kabir, ibunya menghendaki cabang bayi ini kelak menjadi pembeda diantara putera-puteranya yang lain dan berharap tidak seperti ayahnya yang jawara, maka ibunya yang tengah mengandung itu pergi menemui KH.Ghozali di Cigodeg untuk minta doa keselamatan dan kebaikan untuk anaknya.
Pendidikan
Semasa kecil, Jaya Sunawiri ini sudah menampakan kecerdasannya di atas rata-rata anak seusianya. Saat masih sekolah di Ongko Loro ( Volkschule ), prestasinya yang cemerlang telah dibaca oleh gurunya, karena itu ia menganjurkan Jaya Sunawiri agar sekolah ke OSVIA di dekat alun-alun Serang ( kini kantor Polres Kota Serang).
Namun, oleh ibunya tidak diizinkan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih atasnya, karena ibunya menginginkan agar Jaya Sunawiri tidak mengikuti jejak ayahnya. Bahkan ibunya berharap agar Jaya Sunawiri menjadi ulama seperti halnya Kiai Ghozali Cigodeg.
Rihlah Ilmiah
Menginjak remaja, Jaya Sunawiri berangkat mesantren setelah mendapat didikan dari Kiai Ghozali Cigodeg menuju pesantren di Warung Gunung dibawah asuhan kiai Idris, kemudian pindah ke daerah Serang, ngaji ke Kiai Iding.
Dari Banten Jaya Sunawiri pergi mesantren di Gentur, pindah lagi ke Plered Purwakarta hingga belajar di bawah asuhan KH. Jamil Buntet Cirebon. Sehingga dalam kurun beberapa tahun sebelum berangkat ke Tebuireng Jombang Jawa Timur, santri bernama Jaya Sunawiri ini ngaji ke 40 kiai pengasuh pesantren dari Banten hingga Cirebon.
Tahun 1939 Jaya Sunawiri berangkat ke Tebu Ireng atas restu ibunya untuk ngaji kepada Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari ( saat itu KH. Hasyim Asy’ari sudah masyhur ). Ibunya Jaya Sunawiri menginginkan agar anaknya kelak menjadi orang yang berillmu berguna untuk bangsa dan negaranya. Jaya Sunawiri diterima baik oleh Hadrotusyaikh untuk menjadi santrinya. Hingga sampai 4 tahun lamanya menuntut ilmu-ilmu agama kepada Hadrotusyaikh. Dua belas Fan ilmu agama mampu dikuasi oleh Jaya Sunawiri berdasarkan ketekunan dan keuletannya dalam menimba ilmu.
Melihat potensi besar di diri Jaya Sunawiri, akhirnya Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asyari merubah nama Jaya Sunawiri menjadi Abdul Kabir dengan harapan agar santrinya ini menjadi ulama besar atau tokoh besar yang di hormati oleh masyarakat Banten, serta dengan maksud agar Jaya Sunawiri atau Abdul Kabir mampu membesarkan NU di Karesidenan Banten.
Pendudukan Dai Nippon
Pada bulan Februari 1942 kesatuan Tentara ke 25 Jepang dibawah komando Letnan Jendral Tomoyuki Yamashita dengan mudah merebut Sumatera. Jepang juga menduduki Kalimantan setelah mereka melakukan pemboman terhadap pusat Kilang Minyak di Tarakan dan Balikpapan.
Tentara ke-25 Jepang menghentikan serangnya karena lingkup operasinya meliputi Semenanjung Malaya, Singapura, dan Sumatera. Untuk tugas penyerbuan dan pendudukan terhadap Jawa yang menjadi basis utama pertahanan Hindia Belanda dijalankan oleh tentara ke-16 pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.
Masih di Februari 1942, Tentara ke-16 Jepang mendarat di Banten dan dengan cepat bergerak ke timur untuk menduduki Batavia. Dalam keadaan kosong karena pemerintah Hindia Belanda telah mengungsikan seluruh perangkat pemerintahannya ke Bandung.
Perjuangan Angkat Senjata
Pada bulan april 1942 Rais Akbar NU Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari, dan ketua Hofdbestuur NU KH. Mahfudz Shiddiq, ditangkap. Keduanya dipenjara oleh komandan balatentara Jepang selama empat bulan. Dalam kejadian ini, KH. Hasyim Asy’ari menjalani penyiksaan di Penjara Bubutan, Surabaya karena penolakan kerasnya atas tindakan Seikirei ( menghadap dewa Matahari)
Ketika Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari dibebaskan dari penjara Mojokerto, berdasarkan lobi Hamid Ono ( orang Jepang pro Indonesia ), Hadrotusyaikh lalu mengumpulkan ulama NU se-Jawa untuk membentuk laskar Hizbullah, dan laskar Sabilillah.
Berdasarkan keputusan dan gagasan Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari selaku Rois Akbar NU, maka kepada santri-santrinya diminta pulang untuk ikut aktif di barisan Hizbullah dan Sabilillah di masing-masing tempat kampung halamannya.
Diantara santri Tebuireng asal Karesidenan Banten itu terdapat Abdul Kabir yang secara langsung ditunjuk oleh Hadrotusyaikh KH Hasyim untuk memegang kendali komando Hizbullah di Banten. Hingga sebelum sampai pulang ke Petir, Abdul Kabir bersama sahabat akrabnya sekaligus putera gurunya yakni Yusuf Hasyim dididik kemiliteran di Cibarusah Cikarang Bekasi oleh balatentara Jepangselama 6 bulan.
Pulang ke Banten, Abdul Kabir selaku komandan Hizbullah ikut berperan dalam pengusiran tentara Jepang yang bercokol di Serang. Hingga tanpa lama Jepang dapat diusir dari wilayah Banten.
Sanad Madzhab
Gurunya Abdul Kabir semuanya bermadzhab Syafi’i dan istiqomah di manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah, karena ikut gurunya yakni Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari yang masyhur murid dari al-Alim al-Allamah al-Arif al-Hamil al-Mudaqqiq Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, sedang Syaikh Nawawi al-Bantani berguru kepada Syaikh Sayid Zaini Dahlan, berguru kepada Syaikh Abu Bakar Syatha di bidang fikih madzhab Syafi’i, lalu di kajian aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Nawawi al-Bantani berguru kepada Syaikh Sayid Ahmad Nahrawi.
Secara sanad madzhab Syafi’i dan sanad manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah, Kiai Abdul Kabir berguru utama kepada Hadrotusyaikh KH Hasyim Asy’ari, dari sanad KH. Hasyim Asy’ari itulah sanad madzhab Kiai Abdul Kabir tersambung hingga Rosulillah Muhammad S.a.w.
Keluarga
KH. Abdul Kabir menikah dengan Hj. Syukraini dan dianugerahi putera -puteri yaitu.
1. Hj. Endah Robiah Adawiyah
2. Hj. Eroh Bahiroh
3. Sodru Syahid
4. KH. Athoillah
5. KH. Idy Faridi Hakim
6. Utit Tuti Ratnuti
7. Eri Adustury
8. H. Ubaidillah
9. Ahmad Fail Ma’ruf
10. Dra. Muzakirotul ummah
11. Ir. Dail Umamil Ashry
12. Soffa Ruwanda
Mendirikan Pesantren
Setelah pulang dari pesantren Tebuireng pada tahun 1943 dan masih sebagai komandan Hizbullah, Kiai Abdul Kabir mendirikan pondok pesantren yang beliau namai Nurul Falah ( cahaya kebahagiaan) di Kubang Petir.
Sejak dekrit presiden 5 Juli 1959, KH. Abdul Kabir mulai fokus untuk hidmat di pesantren, setelah menjadi Wedana di Pamarayan, Wedana di Ciomas dan anggota konstituante Republik Indonesia wakil dari partai NU setelah gelaran Pemilu pertama 1955.
Sebagai pengasuh Pesantren, KH. Abdul Kabir diminta negara untuk menjadi pejabat di direktorat di Departemen Agama RI, hingga berakhir di tahun 1967. Setelah tidak bertugas di Departemen Agama, KH. Abdul Kabir, bersama KH. Syanwani Sampang Tirtayasa, dan KH. Amin ( ayahnya KH. Maruf Amin, Wapres RI 2019-2024), dan KH. Tb. Ma’ani Rusdi terlibat aktif secara massif dan militan menggerakkan NU di seluruh wilayah karesidenan Banten hingga Banten sampai hari ini masih kuat mempertahankan aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Keseharian
Tiap hari sehabis sholat Subuh, KH. Abdul Kabir membuka pengajian dengan mengajar kitab fathul mu’in dari pkl 05:30 WIB sampai pukul 07:00 WIB. Pada pukul 08:00 hingga pukul 13:30 beliau ngajar ilmu tafsir dengan pegangan kitab jalalain dan ilmu nahwu dengan kitabnya muhatul I’rab. Selepas mengajar beliau istirahat dirumah sambil sesekali meneerima tamu tamu baik dari masyarakat kampung terdekat maupun dari wilayah yang jauh terutama sekali sering didatangi tamu tamu dari tokoh politik, negarawan dan aktivis organisasi NU.
Setelah sholat isya berjama’ah Kiai Abdul Kabir mengajar santri dengan beberapa kitab tafsir dan hadist antara lain Tafsir Khozin, Tafsir Baedawi, Tafsir Munir hingga larut malam, kemudian pukul 22:00 beliau istirahat hingga bangun pukul 03:00 untuk melaksanakan qiyamul lail dilanjutkan dengan berdzikir hingga menjelang subuh.Khusus di hari jum’at KH. Abdull Kabir mengisi pengajian untuk masyarakat umum setelah sholat jum’at. Kitab yang dibaca adalah Shohih Bukhori ini rutin dibaca setiap ba’da Jum’at hingga wafatnya.
Wafat
Al-Alim al-Allamah KH. Abdul Kabir setelah sekian tahun ikut aktif dalam Medan perjuangan, dalam Medan pendidikan agama Islam, dan dalam Medan pergerakan di Nahdlatul Ulama di wilayah Banten. Pada Jum’at 22 Agustus 1975, sang pejuang, sang ulama besar, dan sang muharrik NU Banten itu menghembuskan nafas terakhirnya. Kemudian jasadnya dikebumikan di samping rumahnya di area pesantren Nurul Falah.
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten