Prahara di Sudan, Warga Banten Pulang Kampung

Oleh : HAIRUZAMAN.

(Editor In Chief Harianexpose.com dan Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid VISUAL Jakarta)

Konflik bersenjata yang terus berkecamuk di Sudan merupakan seteru yang berkepanjangan, ternyata berimbas buruk bagi warga Banten yang tengah bermukim disana. Sementara itu, mayoritas warga Banten yang berada di Sudan adalah kalangan mahasiswa, pelajar dan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tengah mengadu nasib di negara yang terletak di sebelah selatan Mesir tersebut.

Republik Sudan ialah sebuah negara yang terletak di kawasan Afrika Timur. Sudan menjadi negara yang berdaulat sejak tahun 1956 atas bantuan Mesir dan Inggris.

Kendati demikian, pasca kemerdekaan Sudan, secara tiba-tiba muncul konflik yang berkepanjangan  antara pemerintah Sudan yang berpusat di Utara dan kelompok pemberontak yang berpusat di wilayah Selatan.

Pasca kenerdekaan, konflik di Sudan kemudian semakin meruncing dan menjadi perang saudara antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Celakanya lagi, konflik bersenjata antara Sudan Utara dan Sudan Selatan itu berlangsung cukup lama yakni sejak tahun 1956 hingga sekarang. Adapun pemicu terjadinya konflik bersenjata yang berkepanjangan itu antara lain, adanya perbedaan etnis, agama dan kultur yang sangat mencolok antara Sudan Utara dan Sudan Selatan tersebut.

Masyarakat di wilayah Sudan Selatan melakukan penolakan terhadap penerapan hukum Islam di Sudan. Selain itu, juga terjadi kesenjangan ekonomi, politik dan pemdidikan antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Tak pelak lagi, masyarakat Sudan Selatan akhirnya berkeinginan untuk merdeka dan melepaskan diri dari pengaruh dan belenggu Sudan Utara.

Perang yang terus berkecamuk antara saudara pertama di Sudan berawal dari adanya perjanjian Mesir di Sudan pada abad ke-19 Masehi.

Dalam perjanjian ini, masyarakat Sudan yang berkulit hitam sering dijadikan sebagai budak oleh warga Arab. Hal tersebut menyebabkan adanya kesenjangan sosial dan politik antara warga Arab dan kelompok kulit hitam di Sudan.

Pada masa transisi pemerintahan pasca kemerdekaan, partai politik Sudan Utara mampu memenangkan pemilihan Parlemen Republik Sudan.

Pemerintahan Sudan Utara cenderung bersifat diskriminatif terhadap masyarakat Sudan Selatan. Hal ini menimbulkan adanya gerakan perlawanan bersenjata di kawasan Sudan Selatan.

Dalam buku Sejarah Afrika (2016), karya Darsiti Soeratman, menyebutkan, perang saudara di Sudan mulai mereda pasca kemunculan Southern Sudan Liberation Movement (SSLM). SSLM dibentuk oleh Joseph Lagu pada tahun 1971 dengan tujuan mengorganisir pergerakan kemerdekaan Sudan Selatan.

Pada tahun 1972, Sudan Utara dan SSLM sepakat untuk menandatangani Perjanjian Addis demi perdamaian Republik Sudan.

Dalam perjanjian itu, akan diadakan pembentukan pemerintahan otonomi di Sudan Selatan. Namun, pada realitasnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat Sudan Selatan.

Pada tahun 1983, kembali berkecamuk perang saudara Sudan kedua yang disebabkan oleh kebijakan Islamisasi Republik Sudan oleh Ja’afar Nimeiri.

Perang Saudara Sudan berakhir setelah disepakatinya perjanjian damai yang komprehensif pada tahun 2005.

Perjanjian itu mengatur pengadaan referendum bagi masyarakat Sudan Selatan. Referendum tersebut menghasilkan kemerdekaan bagi Sudan Selatan. Pada tahun 2011, Republik Sudan Selatan terbentuk dan memperoleh pengakuan internasional dari PBB.

Warga Banten yang tengah bermukim di Sudan, memang harus secepatnya pulang ke kampung halamannya masing- masing. Pasalntya, mereka jangan  sampai menjadi korban adanya perseteruan antara Sudan Utara dan Sudan Selatan yang hingga kini tak pernah berujung dengan damai. Karena itu, Pemerintah Provinsi Banten harus membantu untuk memfasilitasi warga Banten yang ada di Sudan agar bisa pulang ke kampung halamannya. Termasuk memberikan solusi bagi mereka yang tengah menimba ilmu dan mencari nafkah hidup di Sudan. **

Www.Harianexpose.com @ 2020 "The News Online Portal Today"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top