Editor In Chief : Hairuzaman.
Jakarta – Harianexpose.com|
Penayangan jurnalistik investigasi menjadi salah satu karya jurnalistik yang mengupas suatu topik secara lebih mendalam dengan metode pendekatan yang intens. Tak ayal, terkadang dalam prosesnya para jurnalis menemui banyak kendala, mulai dari sulitnya mendapatkan narasumber utama, bahaya yang mengintai dibalik pengumpulan data, hingga tidak jarang mendapatkan persekusi dari oknum-oknum tertentu.
Artinya, untuk menyajikan sebuah tayangan atau tulisan jurnalistik investigasi tidaklah mudah. Prosesnya memakan waktu dan effort yang harus diberikan oleh si jurnalis haruslah totalitas. Misalnya terpaksa harus menyamar demi mendapatkan informasi, sampai menyikap kehidupan pribadi. Namun soal hasil akhirnya, karya jurnalistik investigasi bisa sampai mengungkap informasi terdalam sampai sisi-sisi gelap yang tak pernah bisa terjamah oleh masyarakat.
Lantas, benarkah karya jurnalistik ini akan dilarang penayangannya di Indonesia?
RUU Penyiaran Baru, Jurnalistik Investigasi Dilarang
Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran terbaru memang menimbulkan kontroversi di tengah pembuatannya. Ada beberapa poin pasal yang dinilai membungkam kebebasan pers di Indonesia. Salah satunya, larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi yang dimuat pada pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran pada 27 Maret lalu.
Dikutip detikcom, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan mengatakan pasal tersebut menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan. Ia pun mempertanyakan alasan RUU tersebut melarang media khususnya televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi.
“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik, maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi,” kata Herik.
Ia menambahkan, secara substansi, pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa jadi upaya intervensi dan pembungkaman kemerdekaan pers di Indonesia. Herik khawatir RUU Penyiaran terbaru ini bisa dijadikan alat kekuasaan dan politik oleh pihak-pihak tertentu untuk mencegah terciptanya karya jurnalistik berkualitas.
“Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang sedang dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Apalagi kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers bertanggung jawab sebagai kontrol sosial supaya proses bernegara berjalan transparan, akuntabel, dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik,” jelasnya.
Alasan DPR Melarang Tayangan Jurnakistik Investigasi
Diketahui RUU Penyiaran ini pertama kali diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu anggota Komisi I DPR bidang Komunikasi dan Informatika, Dave Laksono mengatakan RUU ini hanyalah masukan demi memperkaya, memperkuat dan menyempurnakan undang-undang yang sudah ada.
Menurut ia, pembahasan RUU Penyiaran ini sebenarnya telah berlangsung hampir 12 tahun atau sejak 2012. Dia pun berpendapat bahwa DPR tidak ada niat sama sekali untuk membungkam kebebasan pers.
“Tiada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini di bawah Presiden Jokowi ataupun nantinya di bawah Presiden Prabowo dan juga DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, apalagi informasi terhadap masyarakat,” ujarnya dikutip BBC Indonesia.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Sukamta mengungkapkan, latar belakang pengaturan soal larangan penayangan jurnalistik investigas dalam RUU itu untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau sekelompok media saja.
“Tayangan investigasi memang diperlukan bagi pemirsa untuk mendapatkan informasi yang penting. Contohnya membongkar bisnis makanan atau minuman yang ternyata tidak sehat atau tayangan yang membongkar praktik kejahatan yang terjadi di masyarakat, seperti judi online atau sindikat narkoba. Tayangan seperti ini justru sangat edukatif dan berguna. Tapi tayangan lainnya seperti acara pesta seseorang rasanya tidak perlu karena tidak edukatif,” paparnya.
Lewat RUU tersebut, tayangan jurnalistik investigasi bisa punya batasan. Intinya karya tersebut diperlukan, tetapi harus punya batasnya, sehingga poin yang melarang maksudnya adalah topik pembahasannya dibatasi.
Terlepas dari penjelasan RUU dan alasan DPR RI membuat RUU Penyiaran yang baru, kita harus tetap mengawal dan memberikan kritik pada poin-poin yang kemungkinan bisa melemahkan pers di negara ini. Jika salah satu pilar demokrasi ini dilemahkan lewat karya yang paling berpengaruh-jurnalistik investigasi-lantas di mana lagi kita bisa mendapatkan informasi yang bisa mengungkap sisi lain negara ini