Oleh : HAIRUZAMAN.
(Penulis Buku dan Praktisi Pers).
Wartawan ialah salah satu profesi yang begitu mulia. Dimana peran wartawan maupun media massa dijadikan sebagai pilar ke empat setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers juga disebut sebagai watch dog (anjing penjaga). Artinya, salah satu tugas pers adalah sebagai penjaga dan pemantau praktik yang tidak diinginkan atau tak sesuai dengan yang seharusnya.
Sementara itu, untuk disebut sebagai seorang wartawan, maka harus melaksanakan tugas profesinya secara kontinyu. Sebab, seorang wartawan tak hanya cukup mengantongi Kartu Pers aaja. Apabila ia tidak aktif menulis berita, maka status kewartawanannya dianggap gugur. Artinya, seseorang bukanlah bisa disebut wartawan kendati memiliki berbagai atribut kewartawanan. Sebut saja seperti, Kartu Pers, Surat Tugas dan kelengkapan lainnya.
Wartawan pada massa Orde Baru dan era reformasi sangat jauh berbeda. Pada masa Orde Baru, selain wartawan aktif menulis berita, juga sangat memperhatikan kualitas karya jurnalistiknya. Karena, saat itu jika ada wartawan yang tidak rajin menulis berita, maka sering disebut dengan julukan wartawan bodrex, wartawan muncul tanpa berita (Muntaber), wartawan abal-abal, wartawan nina bobo dan berbagai istilah lainnya. Tak pelak lagi, sindiran itu tentu saja bakal membuat oknum wartawan tersebut menjadi kebakaran jenggot
Wartawan di masa Orde Baru jumlahnya terbilang masih sedikit. Tidak seperti sekarang ini begitu menjamur. Namun, produk/karya jurnalistiknya masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan wartawan tempo dulu. Rendahnya kualitas karya jurnalistik itu banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain, malas untuk belajar, tak mau mengikuti pendidikan dan pelatihan jurnalistik, hanya mengandalkan tulisan orang melalui press release (siaran pers), tidak produktif menulis berita, hanya berorientasi pada kebutuhan materi/uang serta berbagai faktor lainnya.
Di masa Orde Baru, para wartawan berlomba-lomba untuk membuat berbagai karya jurnalistik. Mulai dari menulis berita langsung (hard news), berita ringan (soft news), berita kisah (feature), berita investigasi (investigative reporting), resensi buku, essei, opini/artikel/pumpunan dan berbagai jenis karya jurnalistik lainnya.
Dalam era digitalisasi sekarang ini, wartawan lebih gemar menulis berita langsung (hard news), ketimbang berita feature maupun berita investigasi. Celakanya lagi, wartawan saat ini inginnya serba instan. Sebab, hanya cukup melakukan copy paste press release (siaran pers) yang dikirim oleh dinas/instansi/perusahaan maupun institusi lainnya. Sehingga membuat para wartawan menjadi malas untuk menggali dan menulis berita sendiri. Wajar saja jika produk/kualitas karya jurnalistiknya dinilai rendah.
Kendati demikian, masih banyak ditemui pula wartawan yang dinilai begitu produktif menulis berita. Hanya saja tidak dibarengi dengan kualitas karya jurnalistiknya. Berita yang ditulisnya tidak sesuai dengan kaidah jurnalisme dan dibuat secara serampangan. Padahal salah safu syarat sebuah tulisan agar layak disebut sebagai sebuah berita itu harus memenuhi rumus 5W + 1H dan standar jurnalisme.
Celakanya lagi, ada pula stigma negatif wartawan yang berjuluk “nina bobo”. Karena mereka tak pernah menulis berita. Ada pula yang kadang-kadang menulis sebuah berita dan acapkali tiarap. Padahal setiap hari mereka keluar masuk kantor dinas/instansi/perusahaan dan yang lainnya untuk memburu berita. Akan tetapi, beritanya tak pernah dimuat di media massa yang bersangkutan. *”